KUA KANDANGSERANG KAB. PEKALONGAN

SELAMAT DATANG DI KUA KANDANGSERANG...Kami Siap Melayani Anda...Kepuasan Anda Adalah Kebanggaan Kami....

..tulis kata anda disini..

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

Minggu, 20 November 2016

Makalah Lomba Karya Tulis Ilmiah 2016





PELAYANAN PENDAFTARAN NIKAH
MELALUI  MODEL FORMULIR PENDAFTARAN
SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN
KULITAS PELAYANAN NIKAH
MENUJU KUA YANG BERSIH DAN BERWIBAWA



BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR  BELAKANG MASALAH.
Kantor Urusan Agama Kecamatan adalah instansi pemerintahan di bawah naungan Kementerian Agama Republik Indonesia. Keberadaannya di wilayah Kecamatan di sebuah Kabupaten yang wilayah tugasnya meliputi beberapa Desa[1]. Tugas pokok dan fungsinya adalah melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pekalongan di bidang urusan agama islam[2].
Dengan demikian keberadaan Kantor Urusan Agama (KUA) secara hirarki berada di tingkat paling bawah dan sebagai ujung tombak Kementerian Agama Republik Indonesia. Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan wajah Kementerian Agama karena KUA berada di garis depan dan bersinggungan langsung dengan pelayanan Publik / Masyarakat.  Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan stakeholder terdepan bagi Kementerian Agama.
Sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, dan sebagaimana ditegaskan dalam Keputusan Menteri Agama No. 517 Tahun 2001 Tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, Tugas KUA adalah melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten dan Kota dibidang Urusan Agama Islam dalam wilayah kecamatan. Dalam pelaksanaan sebagian tugas dimaksud, KUA berfungsi menyelenggarakan statsistik dan dokumentasi,menyelenggarakan surat menyurat, kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga KUA Kecamatan; danmelaksanakan pencatatan nikah, rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bahkan dalam perkembangan terakhir pelaksanaan manasik haji pun dilaksanakan oleh KUA.[3]
Dalam perjalanan sejarah, Lembaga Kantor Urusan Agama (KUA) sudah berdiri sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada masa sebelum kemerdekaan, yaitu semenjak berdirinya kesultanan mataran, Bangsa Indonesia sudah mempunyai lembaga yang dikenal dengan “Lembaga Kepenghuluan”. Lembaga kepenghuluan pada masa itu masih berbentuk lembaga swasta yang diatur dalam suatu Ordonansi yaitu Huwelijk Ordonantie S. 1929 No. 348. Pada masa selanjutnya, yaitu masa penjajahan jepang, KUA di bentuk dengan nama Kantor  “Shumubu”,  untuk wilayah Jawa dan Madura ditunjuk sebagai Kepala KH. Hasyim Asy’ari dan sebagai pelaksana tugas Keseharian ditunjuk K.Wahid Hasyim. Setelah kemerdekaan, Menteri Agama H.M.Rasjidi mengeluarkan maklumat bahwa seluruh lembaga keagamaan di tempatkan ke dalam Kementerian Agama, termasuk KUA.[4]
Sebagai lembaga terdepan di Kementerian agama, seluruh jajaran Kementerian Agama tentu terkejut ketika di pertengahan tahun 2012 mencuat  isu tentang “Gratifikasi / Pungli KUA” hasil survey Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK menempatkan Kementerian agama sebagai lembaga  yang tinggi praktek korupsinya. Meski demikian Kementerian Agama menyambut dengan hati yang ikhlas hasil survey tersebut. Langkah konkrit untuk menepis dan sekaligus menjawab hasil survey KPK tersebut, pada peringatan HAB ke 70 Th 2016 Kementerian Agama mengusung Thema Mewujudkan Revolusi Mental untuk Kementerian Agama yang bersih dan Melayani.
Dalam Perjalananya, menjelang peringatan hari Amal Bhakti (HAB) Th 2013, Kementerian Agama kembali menjadi sorotan publik disebabkan karena pernyataan dari Irjen Kementerian Agama RI M.Yasin yang menyatakan adanya indikasi pungutan liar (Pungli) atau Gratifikasi KUA yang mencapai angka fantastis. Hal ini disebabkan biaya nikah resmi (sesuai PP 51 Tahun 2000) adalah sebesar 30 ribu[5], akan tetapi praktek di lapangan membengkak sampai ratusan ribu.
Berangkat dari masalah di atas, berbagai upaya telah dilaksanakan oleh Kementerian Agama. pada awal tahun 2014 para penghulu membentuk Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) yang melakukan langkah koordinasi dengan Kementerian Agama dan menyerukan kepada Penghulu seluruh Indonesia untuk melaksanakan tugas pencatatan Nikah hanya di KUA dengan biaya 30 ribu walaupun kebijakan ini menuai protes dan pro kontra di masyarakat.[6]
Pada bulan juli tahun 2014, sebagai upaya memperbaiki kinerja dan integritas KUA diterbitkanlah PP 48 tahun 2014 yang mengatur biaya baru pencatatan Nikah dan Rujuk di KUA dengan menggunakan dua tarif pencatatan nikah, yaitu di KUA dan di Luar KUA. PP tersebut kemudian diperjelas dengan PMA no 46 Th 2014 yang mengatur pengelolaan PNBP atas Biaya Nikah atau Rujuk di luar KUA dan Keputusan Dirjen Bimas Islam No No DJ.II/748 Th 2014 tentang juknis Pengelolaan PNBP atas Biaya Nikah/Rujuk di luar KUA. Secara lengkap, berbagai peraturan berkaitan pelaksanaan pencatatatan dan pelaksanaan pernikahan terdapat beberapa peraturan/perundangan, antara lain :
1.         UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
2.         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3.         PP No 52 Tahun 2000 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku di Departemen Agama.
4.         KMA Nomor 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah.
5.         PMA No 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.
6.         Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksaanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. (Kompilasi Hukum Islam).
7.         PP 48 Tahun 2014 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomo 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama.
8.         PMA 46 Tahun 2014 tentang Pengelolaan PNBP tentang biaya Nikah atau Rujuk diluar KUA.
9.         Keputusan Dirjen Bimas Islam No DJ.II/748 Tahun 2014 tentang Juknis Pengelolaan PNBP atas biaya NR di luar KUA.
10.     Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2015 tentang Jenis dan tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian agama.
11.     PMA Nomor 12 tahun 2016 tentang Pengelolaan PNBP tentang biaya Nikah atau Rujuk diluar KUA
Dari berbagai regulasi yang dimunculkan pemerintah ahirnya dapat merubah pola pelayanan KUA yang semakin jelas dan lebih bersih melayani. Akan tetapi, dalam pelaksanaan di lapangan, berbagai regulasi tersebut ternyata belum berjalan optimal, hal ini dibuktikan dengan penilaian KPK di penghujung Tahun 2014 yang menyatakan “Raport Merah Untuk KUA”. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain belum maksimalnya sistem pendaftaran nikah.
Untuk mempermudah pelayanan, Kementerian agama sebetulnya  telah memberikan pola alur pelayanan nikah sebagai berikut:
1.    Calon pengantin mendatangi RT/RW untuk mengurus surat pengantar nikah untuk dibawa ke kelurahan;
2.    Calon pengantin mendatangi kelurahan untuk mengurus surat pengantar nikah (N1,N2,N3,N4 dan N7) untuk dibawa ke KUA (Kecamatan);
3.    Jika pernikahan dilakukan di luar Kecamatan setempat, maka calon pengantin mendatangi KUA (Kecamatan) setempat untuk mengurus surat pengantar rekomendasi nikah untuk dibawa ke KUA (Kecamatan) tempat akad nikah.
4.    Jika waktu pernikahan kurang dari 10 hari kerja, maka calon pengantin mendatangi Kantor Kecamatan tempat akad nikah untuk mengurus surat dispensasi nikah.
5.    Calon pengantin mendatangi Kantor KUA (Kecamatan) tempat akad nikah untuk melakukan pendaftaran nikah;
6.    Jika pernikahan dilakukan di KUA (Kecamatan), maka calon pengantin tidak dikenakan biaya alias gratis.
7.    Jika perikahan dilakukan di luar KUA (Kecamatan), maka calon pengantin mendatangi Bank Persepsi yang ada di wilayah KUA tempat menikah untuk membayar biaya nikah sebesar Rp600.000,- lalu menyerahkan SLIP SETORANNYA ke KUA tempat akad nikah.
8.    Calon pengantin mendatangi KUA (Kecamatan) tempat akad nikah untuk melakukan pemeriksaan data nikah calon pengantin dan wali nikah;
9.    Calon pengantin melaksanakan akad nikah, di KUA (Kecamatan) atau Lokasi Nikah, untuk kemudian diakhiri dengan penyerahan buku nikah.[7]
Kita bisa melihat, dari berbagai regulasi yang diterbitkan oleh Kementerian agama, ternyata perubahan yang ditujukan lebih fokus pada perubahan biaya dan alur pelayanan nikah, belum menyentuh pada reformasi / perubahan administrasi pendaftaran nikah yang lebih simpel dan mudah bagi masyarakat.
Hasil pengamatan di lapangan, partisipasi masyarakat untuk datang sendiri ke KUA guna mengurus pendaftaran nikah masih belum maksimal dikarenakan berbagai alasan, salah satunya adalah masih ribetnya administrasi pendaftaran nikah, dintaranya adalah Form N yang masih terlalu banyak dan memerlukan tanda tangan pejabat di tingkat Desa / Kelurahan. Hal inilah yang memberikan kesan di masyarakat mengenai pelayanan KUA yang masih sulit (kurang simpel) dalam pengurusan administrasinya.


B.       RUMUSAN  MASALAH
Berdasarkan  latar belakang diatas, maka dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, hal yang menjadi obyek pembahasan meliputi beberapa hal antara lain ;
1.    Bagaimana Prosedur dan persyaratan administrasi  yang digunakan dalam Pendaftaran nikah di KUA Sekarang  ini?
2.    Kebiajakan apa yang sudah dilakukan oleh Kementerian Agama untuk peningkatan kualitas pelayanan nikah KUA?
3.    Apa dan bagaimana model pendafataran nikah melalui model Formulir pendaftaran Nikah?
C.      TUJUAN DAN MANFAAT
Dalam penulisan karya tulis ilmiah  Kepala KUA dan Penghulu tahun 2016 tentang “PELAYANAN PENDAFTARAN NIKAH MELALUI  MODEL FORMULIR PENDAFTARAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KULITAS PELAYANAN NIKAH MENUJU KUA YANG BERINTEGRITAS”  mempunyai tujuan dan manfaat antara lain ;
1.    Perbaikan pelayanan pendaftaran Nikah/Rujuk di KUA yang lebih baik, efektif dan efesien berbasis pelayanan publik.
2.    Meningkatkan Integritas KUA melalui upaya peningkatkan Kesadaran masyarakat untuk mengurus pelayanan kua secara pribadi (tanpa perantara).
3.    Meminimalisir opini pungli KUA serta memperbaiki citra KUA yang lebih bersih dalam pelayanan.
4.    Memberikan kesadaran publik tentang pelayanan KUA yang sebetulnya mudah untuk dilaksanakan.
5.    Memperbaiki dan meningkatkan pelayanan di KUA.
D.      SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan merupakan kerangka penelitian yang memberikan  petunjuk mengenai pokok-pokok  permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Untuk itu, penulis membagi menjadi tiga bagian utama, yakni bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir.
1.    Bagian awal
Pada bagian awal meliputi halaman sampul,  judul, abstrak, ,daftar isi dan kata pengantar.
2.    Bagian Isi
Bab I Pendahuluan yang berisi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan  sistematika penulisan.
Bab II Kajian teoritis dan metodologis penulisan yang meliputi; kajian teoritis tentang definisi dan sejarah pelayanan nikah di KUA, kerangka berfikir tentang perlunya sebuah solusi reformasi birokrasi guna peningkatan pelayanan nikah di KUA serta metodologi yang digunakan untuk mencari dan menganalisa data dalam penulisan karya tulis ilmiah.
Bab III Pembahasan tentang pelayanan nikah dengan menggunakan model formulir tentang efektif dan efesiensinya serta kesesuaianya dengan peraturan dan perundangan yang ada.
Bab IV Penutup, berisi: kesimpulan dan saran
3.    Bagian akhir
Pada bagian akhir pada karya tulis ilmiah  ini terdiri dari daftar pustaka dan lampiran-lampiran.




BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN METODOLOGIS PENULISAN
A.      KAJIAN TEORITIS
1.    Pengertian Pencatatan Nikah
Pencatatan nikah adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Pencatatan nikah sangat penting dilaksanakan oleh pasangan mempelai sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan itu baik secara agama maupun negara. Dengan buku nikah itu, mereka dapat membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris.[8]
Pemenuhan kepentingan dan kebutuhan masyarakat sangat menentukan bagi kelangsungan dan tegaknya sistem pemerintahan. Sebagaimana yang diungkapkan Sinambela bahwa “negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.” Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari birokrat, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas, seringkali tidak sesuai dengan harapan.[9]
Dari beberapa kebutuhan yang disebutkan di atas, salah satu kebutuhan yang juga berpengaruh adalah kebutuhan administratif mengenai pernikahan yang telah diatur baik secara agama maupun hukum positif Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan kebutuhan manusia untuk menikah dan berumah tangga adalah awal dari munculnya kebutuhan yang lainnya.
Pernikahan merupakan suatu ikatan/akad/transaksi, yang di dalamnya sarat dengan kewajiban-kewajiban dan hak, bahkan terdapat pula beberapa perjanjian pernikahan.[10] Kewajiban dan hak masing-masing suami isteri telah diformulasikan di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.[11]
Di Indonesia walaupun telah ada peraturan perundang-undangan  tentang pernikahan yang secara tegas mengatur masalah keharusan mendaftarkan pernikahan secara resmi pada Pegawai Pencatat Nikah, tetapi  tampaknya kesadaran masyarakat akan  hukum dan pentingnya suatu pencatatan  nikah  masih dapat dibilang rendah. Hal ini terlihat dari banyaknya dijumpai praktik nikah  sirri  yang dilakukan di hadapan kyai, tengku, modin, ustadz, dan sebagainya.[12]
2.    Reformasi birokrasi Pelayanan Nikah.
Selama ini, KUA telah mendapat stigma yang cukup kuat ditengah masyarakat sebagai  lembaga yang rentan terhadap praktik pungli dan gratifikasi. Bahkan dalam beberapa tahun telah mendapat perhatian serius dari lembaga penegak hukum, seperti  KPK  dan  Kejaksaan. Indikasinya adalah dijadikannya salah seorang aparatur KUA di Kediri sebagai terpidana kasus korupsi (pungutan liar). Inilah yang kemudian mendorong  pemangku kebijakan ditingkat pusat untuk mencari formula ideal guna melakukan reformasi dibidang pelayanan publik untuk memperbaiki citra KUA.
Program Reformasi birokrasi telah membuka warna baru dalam bentuk pelayanan publik di Indonesia. Berbagai instansi pemerintahan telah (sedang) melakukan pembenahan diberbagai sektor yang selama ini menjadi titik lemah bagi pelayanan publik. Salah satunya adalah Kementerian Agama yang kini terus berupaya untuk berbenah dalam layanan pernikahan di KUA. Hal ini dilakukan oleh kementerian agama karena melihat sebegitu strategis peran dan fungsi KUA sebagai unit terdepan dari Kementerian Agama Republik Indonesia pada tingkat kecamatan yang bersinggungan langsung dengan kebutuhan masyarakat akan pelayanan dibidang keagamaan dan citra Kementerian Agama akan sangat dipengaruhi oleh citra KUA di masyarakat.
B.  KERANGKA BERFIKIR
Berkenaan dengan  permasalahan  pelayanan pendaftaran Nikah/Rujuk yang dihadapi di KUA, menurut hemat penulis diperlukan suatu cara lain agar pelayanan tertib , efektif dan efesien. Cara tersebut diharapkan  menjadi jalan keluar agar timbul kesadaran masyarakat untuk mengurus pendaftaran Nikah secara langsung tidak melalui pihak lain (Kaur Kesra). Cara pendaftaran Nikah/Rujuk baru tersebut juga sebagai sarana yang efektif untuk memberikan informasi tentang jumlah biaya, persyaratan  dan prosedur pendaftaran nikah yang lebih simpel dan menghilangkan celah penggunaan pihak lain yang terkadang mengambil  keuntungan atas nama KUA. Salah satu cara ini adalah menciptakan formulir pendaftaran nikah model baru yang lebih simpel dan mudah bagi masyarakat, cara inilah yang akan  menjadi bahasan penulis dalam penulisan Lomba Karya Tulis Ilmiah Kepala KUA dan Penghulu Tk. Kab. Pekalongan Tahun 2016, yaitu dengan  mengubah formulir  pendaftaran  Nikah model  lama (N1-N7) dengan menggunakan Formulir Pendaftaran Nikah Aplikatif  (yang lebih mudah dan simpel)  yang disesuaikan dengan isian pada aplikasi SIMKAH.
C.  METODOLOGI PENULISAN
1.    Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian  yang  menggunakan obyek empirik di lapangan. Tentu, peneliti tidak hendak  meninggalkan  kajian  kepustakaan (library research) dengan  maksud untuk  mendapatkan  kajian teoritis dan beberapa konsep materi  penelitian yang telah ada  sumber pustaka. Hal ini untuk mengkaji pelaksanaan pelayanan pendaftaran nikah di KUA.
Pendekatan  yang  digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, di mana  prosedur  penelitian  ini  menghasilkan  data deskriptif berupa kata-kata atau tulisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Oleh sebab itu metode penelitian  ini  adalah metode penelitian  deskriptif, yang menurut Nana Sudjana disebut sebagai metode penelitian yang berusaha mendeskripsikan gejala, peristiwa  atau  kejadian  tertentu.[13] Maka, penelitian ini dimaksudkan memberikan  gambaran  dari  informasi-informasi  dan data yang berkaitan dengan proses  pelayanan  pendaftaran Nikah yang berjalan di KUA serta berbagai kebijakan yang sudah dilaksanakan serta mencari tawaran solusi kebijakan alternatif yang lebih efektif guna perbaikan pelayanan.
2.    Sumber Data.
Tujuan  pertama dari data dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan sumber data yang berkaitan dengan obyek yang dikaji di lapangan. Penelitian ini tidak menggunakan populasi, melainkan menggunakan situasi sosial, yakni tempat, pelaku, dan aktivitas yag berinteraksi secara sinergis. Oleh karena itu, penelitian ini hendak mengkaji situasi sosial berupa pelaksanaan pelayanan pendaftaran nikah yang sudah berjalan di KUA.
Situasi ini mencakup interaksi antara masyarakat  dengan JFU sebagai pelaksana pelayanan KUA. Ditinjau  dari teknik  penentuan  sumber  data, peneliti menggunakan teknik purposive dan snow ball.[14] Adapun peneliti dapat mencari data-data tersebut secara berkelanjutan dari berbagai sumber, yang kemudian dianalisa dan disimpulkan.
3.Teknik Pengumpulan Data.
Dalam penelitian ini akan menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu observasi pelaksanaan pola pendaftaran nikah di lapangan dan kajian kepustakaan dari berbagai sumber hukum dan peraturan yang ada.
Terdapat dua cara dalam melakukan observasi yaitu:
1)   Pengamatan langsung (direct observation), yakni teknik pengumpulan data di mana penyelidik mengadakan pengamatan  secara langsung (tanpa alat) terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki, baik pengamatan  itu dilakukan dalam situasi sebenarnya maupun situasi yang khusus diadakan.
2)   Pengamatan tidak langsung (indirect observation), yaitu pengamatan terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki dengan perantara sebuah alat, baik alat yang sudah ada (yang semula tidak khusus untuk keperluan tersebut), maupun yang memang sengaja dibuat untuk keperluan yang khusus itu. Pelaksanaannya dapat berlangsung pada situasi sebenarnya maupun di dalam situasi yang buatan.[15]
3.    Penarikan kesimpulan
Kesimpulan adalah upaya untuk mencari makna terhadap data yang dikumpulkan dengan mencari pola, tema, hubungan, persamaan dan hal-hal yang sering timbul. Kesimpulan dapat ditarik dari hasil penelitian di lapangan yakni suatu jawaban atas pertanyaan penelitian yang diverifikasi yang berlangsung selama dan setelah data dikumpulkan.

BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

A.  DISKRIPSI MASALAH.
Pencatatan nikah adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Pencatatan nikah sangat penting dilaksanakan oleh pasangan mempelai sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan itu baik secara agama maupun negara. Dengan buku nikah itu, mereka dapat membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris.
Dalam proses pencatatan peristiwa nikah, terdapat beberapa kegiatan yang tidak terpisahkan  dari kegiatan pencatatan nikah tersebut antara lain meliputi; proses pendaftaran administratif, pelaksanaan nikah, pencatatan dan penerbitan akta nikah. Ketiga proses tersebut hal yang tidak terpisahkan. Dari ketiga proses ini, proses pendaftaran nikah menjadi tema bahasan bagi penulis karena proses ini masih menggunakan pola yang sama dan berjalan dalam kurun waktu lama. Proses pendaftaran nikah adalah proses dimana masyarakat memberitahukan / mendaftarkan rencana pelaksanaan nikah ke KUA untuk dicatat dan diberikan bukti akta catatan perkawinan untuk mendaptkan kepastian hukum tentang status seseorang.
B.  ANALISA MASALAH
Kebijakan Kemenag dalam meningkatakn kualitas pelayanan KUA
Sebagai ujung tombak layanan publik Kementerian Agama ditingkat terbawah, KUA pun telah berbenah dan menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang menjadi keniscayaan reformasi birokrasi. Beberapa perubahan mendasar  yang sudah dilakukan oleh Kementerian Agama  dibidang pelayanan perkawinan KUA menurut hemat penulis antara lain :
1.      Regulasi Peraturan Perkawinan terutama mengenai biaya nikah, yaitu melalui penerbitan beberapa peraturan antara lain ;
-   Edaran Dirjen Nomor DJ.II.I/3/HK.007/2757/2013 Perihal Pelayanan Pencatatan Nikah agar sesuai aturan dan tidak memungut sesuatu apapun dari penerima layanan;
-   PMA No.412 tahun 2016 ttg Pengelolaan PNBP atas biaya Nikah/Rujuk diluar KUA Kecamatan.
-   Keputusan Dirjen Bimas Islam No: DJ.II/748 tahun 2014 ttg Juknis Pengelolaan PNBP atas biaya NR di luar KUA Kecamatan.
-   Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2015 tentang Jenis dan tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian agama.
-   PMA Nomor 12 tahun 2016 tentang pengelolaan PNBP atas biaya Nikah/Rujuk diluar KUA Kecamatan.
2.      Penerapan SOP Pelayanan pencatatan nikah, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor DJ.II/1209 Tahun 2013 Tentang SOP Pada KUA Kecamatan.
3.      Peningkatan  Kesejahteraan bagi Kepala KUA dan Penghulu melalui  pemberian Transport dan Jasa Profesi guna meminimalisir Gratifikasi.[16]
4.      Perubahan prosedur dan alur pelayanan nikah, pada awal tahun 2015 Ditjen Bimas Islam merelease alur pelayanan nikah sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004.[17] tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama. Alur tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah ini ;
5. Pembentukan  Satgas pengendalian Gratifikasi KUA, Tim ini bertugas secara periodik sebagai TIM pengawas untuk mengendalikan adanya gratifikasi di KUA.[18]
6. Pembentukan Zona Integritas KUA, dengan dibentuknya Zona Integritas tersebut KUA diharapkan sebagai Unit Pelayanan yang berintgritas dan bebas dari segala pungli dan Gratifikasi.
7. Penerapan dan optimalisasi pelayanan Nikah berbasis IT dengan program SIMKAH Online, dengan program ini data pernikahan KUA di seluruh wilayah indonesia harus online dan bisa diakses diseluruh wilayah indonesia.[19]hal ini tercermin dari beberapa peraturan  di bawah ini :
- Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/369/2013 Tahun 2013 Penerapan Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH) Pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.
- Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor: DJ.II/514/2014 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi Serta Sistem Informasi Manajemen Bimbingan Masyarakat Islam Pusat dan Daerah.
-  Surat Edaran nomor Dj.II/1/KP.07.6/115/2015 tahun 2015 bahwa setiap Kemenag Kabupaten/Kota harus membentuk Tim Entri Data Bimas Islam yang dibiayai oleh DIPA tahun berjalan”.
8.  Mewajibkan adanya  kotak aduan masyarakat di KUA serta sosialisasi alamat pengaduan melalui website www.bimasislam. kemenag.go.id, sms gateway 08221990000, dan PO. BOX 3733 JKP 10037.
9.  Penyetoran biaya nikah yang tidak lagi ke KUA, akan tetapi langsung ke Bank (Kecuali Daerah Kecamatan yang tidak terdapat Layanan) hal ini dilakukan untuk memperbaiki pelayanan dan citra KUA yang lebih bersih.
10.Penerapan keterbukaan informasi pelayanan KUA melalui berbagai media, misalnya Televisi, Radio, Panflet, Brosur dll guna memberikan informasi yang seluas-luasnya bagi masyarakat tentang prosedur pelayanan KUA.
12.Standarisasi Gedung, pakaian penghulu dan Pengelompokan typologi KUA, hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/410 Tahun 2013 Tentang Penetapan Tipologi, Standarisasi Gedung dan Standar Berpakaian bagi Pegawai Pencatat Nikah (Penghulu) pada KUA Kecamatan;
13.Pada Penghujung tahun 2015, muncul trend perubahan ruang pelayanan di KUA berbasis Front Office (FO), dimana KUA dihimbau untuk merubah tata kelola ruang pelayanan sesuai dengan trend berbasis pelayanan publik sebagaimana hal ini sudah diterapkan pada unit pelayanan kantor lain.
Dari beberapa langkah perubahan yang dilakukan oleh Kementerian Agama, penulis memandang masih ada pelayanan yang belum mengalami perunahan sejak dahulu, yaitu administrasi pendaftaran nikah yang masih menggunakan blanko N.
Penggunaan blanko pendaftaran nikah sampai sekarang masih menggunakan blanko pendaftaran nikah model N1 sampai dengan N7, blanko tersebut dapat dilihat pada lampiran Karya Tulis i
Kelebihan dan Kekurangan Proses Pendaftaran Nikah
Dari contoh formulir pendaftaran diatas kita bisa melihat, bahwa pada tahun  2016  ini pendaftaran nikah masih menggunakan formulir N1 – N7 seperti contoh diatas. Menurut hemat penulis, model formulir seperti di atas mempunyai kelebihan dan kekurangan. Diantara kelebihan maupun kekurangan formulir model N tersebut dapat dilihat dalam table berikut ini;

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN FORMULIR MODEL N1-N7
KELEBIHAN
KEKURANGAN
-       Data Permohonan lebih akurat, karena masing-masing data ditulis dalam lembaran terpisah dan ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan.
-       Sesuai dengan PMA Nomor 11 Tahun 2007 ( sesuai item persyaratan yang dibutuhkan).
-       Lebih Lengkap dan kuat secara administrasi, karena terdapat penomoran surat dari Desa.
-       Formulir kurang fleksibel, terdapat pengulangan penulisan identitas berulang-ulang (contohnya data pengantin/orang tua).
-       Kesulitan penyimpanan arsip karena terlalu tebalnya data (beberapa lembar kertas).
-       Membutuhkan tandatangan pejabat tingkat RT/RW dan Desa   berulang-ulang (lebih dari sekali).
-       Bentuk permohonan adalah surat yang terdapat nomor surat dari Desa/Kelurahan, sehingga harus dibuat oleh Desa.
-       Urutan data kurang aplikatif  dan efesien ketika akan input data pendaftaran ke Komputer.
-       Kurang cepat dan efesien dalam pelayanan.

            Dari tabel diatas kita bisa melihat, bahwa formulir pendaftaran nikah yang sudah berjalan adalah merupakan penjabaran dari PMA No 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, dalam PMA No 11 Tahun 2007 Pasal 5 disebutkan ;
1.    Pemberitahuan kehendak menikah disampaikan kepada PPN, di wilayah kecamatan tempat tinggal calon isteri.
2.    Pemberitahuan kehendak nikah dilakukan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pemberitahuan dan dilengkapi persyaratan sebagai berikut:
a.   Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;
b.   Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;
c.   Persetujuan kedua calon mempelai;
d.   Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala desa/pejabat setingkat;
e.   Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun;
f.    Izin dari pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud huruf e di atas tidak ada;
g.   Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum mencapai umur 16 tahun;
h.   Surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota TNI/POLRI;
i.    Putusan pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang;
j.    kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
k.   Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/isteri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi janda/duda;
l.    Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor perwakilan negara bagi warga negara asing.
Bila kita telisik dan cermati secara peraturan Formulir N yang digunakan untuk pendaftaran Nikah saat ini memang mempunyai kelebihan tingkat kelengkapan dan akurasi data yang tinggi karena masing-masing item dalam pasal 5 PMA No 11 tahun 2007 dijelmakan dalam surat yang masing-masing berdiri sendiri (Lihat contoh form N di atas). Akan tetapi pada masa kini, dimana Pelayanan disegala bidang dituntut untuk serba mudah, cepat, fleksibel (sesuai Permenpan Nomor 36 Tahun 2012 tentang standart pelayanan Publik) Formulir tersebut terdapat kekurangan antara lain;
-       Kurang Fleksibel, terdapat penulisan data yang berulang-ulang, hal ini menimbulkan asumsi di masyarakat sulitnya pengurusan pendafataran nikah. Masyarakat yang akan mendaftar Nikah di KUA harus menulis formulir minimal sebanyak 5 lembar sehingga bagi masyarakat terutama yang tingkat pendidikan dan SDM kurang akan terlihat susah dan enggan mengisi sendiri formulir tersebut. Hal ini kemudian dapat memicu masyarakat untuk menyuruh pihak lain dalam pengurusan Nikah di KUA dan enggan datang sendiri ke KUA.
-       Kesulitan penyimpanan arsip, sebagian besar bangunan dan ruang penyimpanan arsip KUA terbatas, karena rata-rata luas bangunan KUA berkisar antara 150 s.d 250 M persegi. Kita bisa bayangkan, seandainya satu peristiwa nikah mengarsip dokumen sebanyak minimal 10 lembar (laki-laki dan perempuan masing-masing 5 lembar) belum termasuk lampiran Fotocopy KTP, KK, Surat kesehatan, akta cerai, dispensasi dll, maka seandainya jumlah pernikahan pertahun diasumsikan 300 peristiwa, jumlah arsip tersebut mencapai 3.000.000 lembar pertahun. Jumlah tersebut tidak memungkinkan KUA untuk menyimpan data induk tersebut, oleh karena itu biasanya arsip yang disimpan di KUA adalah data Register Nikah, akan tetapi tidak menutup kemungkinan apabila dibutuhkan arsip tersebut harus dibuka kembali jika ada permasalahan.
-       Permohonan pendaftaran nikah model N membutuhkan tanda tangan di tingkat pejabat Desa/Kelurahan lebih dari sekali,minimal 4 kali yaitu pada Surat Keterangan asal-usul, Surat Keterangan untuk Nikah, Surat Keterangan orang tua dan Surat Keterangan Wali. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa pendaftaran nikah memerlukan banyak surat dari tingkat Desa/Kelurahan, sehingga hal tersebut bisa dimanfaatkan Desa/Kelurahan untuk meminta imbalan guna pembuatan surat permohonan pendaftaran nikah tersebut.
-       Bentuk permohonan pendaftaran Nikah adalah surat permohonan yang membutuhkan Nomor Surat dari Desa dan hanya bisa dikeluarkan oleh Desa sehingga tidak memungkinkan Catin untuk membuat sendiri surat tersebut. Dari sinilah kemudian catin tidak bisa mandiri membuat surat tersebut dan menimbulkan biaya diluar ketentuan.
-       Urutan data yang ada di formulir pendaftaran sekarang ini kurang efektif dengan aplikasi SIMKAH, sejak tahun 2010 data nikah di KUA sudah dianjurkan dengan sistem online, terlebih mulai tahun 2015 data kependudukan sudah terintegrasi dengan data di Dukcapil. Oleh karena itu, penggunaan data manual yang banyak biasanya kurang diperlukan karena penggunaan data komputer biasanya lebih simpel.
-       Kurang cepat dan efesien dalam pelayanan, dengan surat permohonan pendaftaran nikah model N,  tidak memungkinkan pelayanan KUA yang cepat dan efesien seperti di instansi pelayanan lain yang sudah menggunakan sistem Formulir. Model surat pendaftaran nikah yang masing-masing terpisah dalam beberapa lembar terkadang menimbulkan kendala kekurangan data, salah satu lembar belum tertandatangani atau tidak ada, karena tidak semua warga masyarakat patuh dan tertib dalam administrasi. Hal inilah yang dapat menimbulkan hambatan pelayanan KUA sehingga terlihat kurang cepat dalam pelayanan.
Model Pelayanan Publik
Berdasarkan pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik sering kali dilihat sebagai representative dari eksistensi birokrasi pemerintahan, karena hal ini berhubungan langsung dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Filosofi dari pelayanan publik menempatkan rakyat sebagai subjek dalam penyelenggaraan pemerintahan.[20]
Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 25 Tahun 2004, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya menurut Undang-Undang No. 25 tahun 2009, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peratuaran perundan undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Sementara menurut  Kurniawan, yang  dimaksud pelayanan publik adalah pemberian layanan terhadap orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Pemberi pelayanan publik adalah pegawai instansi pemerintah yang melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintahan dalam memenuhi kebutuhan publik/masyarakat yang dapat berupa pelayanan bentuk barang, jasa dan juga pelayanan dibidang administratif.
Adapun bentuk pelayanan publik ini berbagai macam antara lain :
a. Pelayanan lisan
b. Pelayanan berbentuk tulisan
c. Pelayanan berbentuk perbuatan
Dalam kenyataan sehari-hari jenis layanan ini memang tidak terhindar dari layanan lisan , jadi antara layanan perbuatan dan layanan lisan sering bergabung. Hal ini disebabkan karena hubungan lisan paling banyak dilakukan dalam hubungan pelayanan secara umum. [21]
Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna jasa, penyelenggara pelayanan harus memenuhi azas-azas pelayanan sebagai berikut ;[22]
a. Transparansi , Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b. Akuntabilitas , Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Kondisional , Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip efisiensi dan efektifitas
d. Partisipatif , Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
e. Kesamaan Hak , Tidak diskriminatif dalam arti tidak membeda-bedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
f.  Keseimbangan Hak dan Kewajiban , Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Lembaga administratif  Negara membuat beberapa kriteria pelayanan publik yang baik, antara lain meliputi, kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, kemauan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, dan keadilan merata, ketepatan waktu serta kriteria kuantitatif. [23]
Kemudian  kinerja pelayanan publik yang baik dapat dilihat dari indikator:
a. Tangible (kenampakan fisik)  yaitu pelayanan yang dapat dilihat dari sarana fisik yang kasat mata, contohnya berupa fasilitas atau sarana perkantoran, komputerisasi, administrasi, ruang tunggu tempat tempat informasi dan sebagainya.
b. Reliability (keandalan) yaitu kemampuan serta keandalan dalam menyediakan pelayanan yang terpercaya.
c. Rseponsiveness (daya tanggap) yaitu, kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara tepat dan cepat, serta memiliki daya tanggap terhadap keinginan konsumen (masyarakat yang dilayani).
d. Competence (kompetensi) yaitu pelayanan dapat menjawab semua informasi yang dibutuhkan oleh pelanggan dan memiliki kemampuan dalam mengembangkan pelayanan.
e. Courtesy (kesopanan) yaitu pelaksanaan dari pelayanan yang sesuai dengan norma kesopaan dan keramahan.
f. Security (keamanan) yaitu adanya jaminan keamanan atau keselamatan terhadap pelanggan dalam pelaksanaan pelayanan.
g. Access (akses) yaitu adanya kemudahan pelayanan baik dari segi lokasi, prosedur maupun informasi yang mudah dijangkau oleh pelanggan.
h. Communication (komunikasi) yaitu kejelasan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan pelanggan dan interaktif dalam memberikan pelayanan.
i. Understanding the customer (pengertian terhadap konsumen) yaitu tanggap terhadap kebutuhan pelanggan atau masyarakat yang membutuhkan pelayanan tersebut.[24]
Dalam pelayanan publik juga terdapat beberapa prinsip yang perlu untuk dilaksanakan agar pelayanan publik dapat terlaksana dengan baik. Prinsip-prinsip pelayanan publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 adalah sebagai berikut :
a. Kesederhanaan, prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan
b. Kejelasan, mencakup beberpaa hal antara lain:
1.Persyaratan teknis dan administrasi pelayanan umum.
2.Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik.
3.Rincian biaya pelayanan dan tata cara pembayaran.
c. Kepastian waktu, pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
d. Akurasi, produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.
e. Rasa aman, proses dan produk pelayanan public memberikan rasa aman dan kepastian hukum.
f. Tanggung jawab, pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik
g. Kelengkapan sarana dan prasarana, tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika.
h. Kemudahan akses, tempat dan lokasi serta sarana prasarana kerja yang memadai dan mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telematika.
i. Kedisplinan, kesopanan, dan keramahan, pemberi layanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta memberikan pelayanan yang ikhlas.
j.  Kenyamanan, lingkungan pelayanan harus tertib, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah, sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah, dan lain-lain.
Adapun standar  pelayanan  publik  menurut Keputusan Menpan Nomor 63 tahun 2003 yaitu meliputi :
a. Prosedur pelayanan, yang dibakukan dan termasuk dengan pengaduan.
b. Waktu penyelesaian, yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian.
c. Biaya pelayanan, termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.
d. Produk pelayanan, yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
e. Sarana dan prasarana, yang memadai.
f. Kompetensi petugas, yang harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.
Berdasarkan Keputusan Menpan Nomor 63 tahun 2003 dijelaskan tentang 6 indikator standart pelayanan publik. Indikator-indikator itu meliputi prosedur pelayanan, waktu penyelesaian, biaya pelayanan, produk pelayanan, sarana prasarana dan kompetensi petugas pemberi pelayanan publik.
Dari berbagai sudut pandang / unsur pelayanan publik yang meliputi ; bentuk, azaz, indikator kemudahan, prinsip dan standart pelayanan maka dalam pelaksanaan pelayanan pencatatan nikah, Kantor Urusan Agama harus menggunakan prinsip tersebut, salah satunya yaitu bidang administrasi persyaratan pendaftaran Nikah yang menurut hemat penulis belum di adakan perubahan oleh Kementerian Agama.
Model Alternatif  Formulir Pendaftaran Nikah
            Sebagaimana prinsip, azas dan standart pelayanan publik yang mencermikan kemudahan dan kecepatan pelayanan, maka perubahan persyaratan administrasi Nikah menurut hemat penulis sangat diperlukan. Prinsip perubahan tersebut adalah mengedepankan prinsip pelayanan publik meliputi beberapa hal antara lain :
a. Kesederhanaan, yaitu menyederhanakan persyaratan permohonan yang semula dalam bentuk surat permohonan nikah dalam beberapa Lembar menjadi bentuk Formulir satu lembar.
b. Kejelasan, meskipun disederhanakan persyaratan tersebut dalam satu lembar formulir akan tetapi data dalam formulir tersebut lebih jelas dan mudah dibaca dan tidak meninggalkan informasi-informasi penting di dalamnya, termasuk persyaratan wali, persyaratan lampiran pendaftaran, biaya, dan persyaratan wali yang jarang diketahui oleh masyarakat.
c. Kepastian waktu, dengan model formulir dalam pendaftaran, kekurangan salah satu surat/kekurangan administrasi dapat diminimalisir karena semuanya terangkum dalam formulir tersebut, hal ini meningkatkan kualitas pelayanan dan kepastian waktu pelayanan.
d. Akurasi, model formulir pendaftaran Nikah tersebut meski lebih simpel tapi tingkat akurasi data tetap terjaga, karena semua pihak yang berkepentingan mencantumkan tanda tangan dalam formulir tersebut. Disamping itu, Formulir tersebut tidak meninggalkan lampiran pendukung lainya ( KTP, KK, Surat Kesehatan dll ) sebagai data induk/rujukan formulir tersebut.
            Berdasarkan prinsip, azas dan standart pelayanan publik diatas, maka penulis mencoba membuat format baru formulir pendaftaran nikah yang mana format tersebut masih dalam koridor PMA No 11 Tahun 2007 tentang pencatatan Nikah. Akan tetapi format tersebut penulis coba untuk disederhanakan untuk memudahkan catin dalam pengisian formulir tersebut. Formulir tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
       
            Penggunaan model formulir semacam ini, adalah model yang sudah digunakan di berbagai lembaga pelayanan masyarakat sekarang ini baik lembaga swasta maupun pemerintah seperti; permohonan pengurusan pasport di imigrasi, permohonan pembukaan rekening di Bank dan lain sebagainya.

BAB IV
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
            Dari Uraian latar belakang dan pembahasan masalah yang penulis jelaskan pada bab terdahulu, ada beberapa kesimpulan antara lain :
1.    Proses pelayanan pendaftaran nikah adalah bagian dari pelayanan pencatatan nikah di KUA yang mempunyai kedudukan penting dan menjadi barometer keberhasilan penilaian yang lebih baik bagi KUA.
2.    Dalam perjalanan sejarah, Kementerian Agama telah berhasil melakukan perubahan / reformasi birokrasi untuk  perbaikan  pelayanan KUA dalam segala bidang, sehingga keberhasilan ini dapat membawa citra Kementerian Agama sebagai Wilayah Birokrasi yang bebas dari Korupsi (WBBK) dan wilayah Birokrasi yang bersih dan melayani (WBBM).
3.    Reformasi Birokrasi tersebut, perlu terus ditingkatkan terutama dalam hal proses dan prosedur pendaftaran nikah. Proses dan prosedur pendaftaran nikah yang sudah ada sudah cukup baik tapi perlu terobosan baru agar proses pendaftaran nikah lebih mudah bagi masyarakat guna menutup celah penggunaan jasa pihak ketiga guna menciptakan lembaga KUA yang berintegritas.
4.    Salah satu upaya yang penulis tawarkan guna peningkatan pelayanan pendaftaran nikah adalah melalui model formulir yang menurut hemat penulis sangat memudahkan masyarakat, terlebih sekarang era informasi dan tehnologi dimana banyak data yang tersimpan dalam bentuk elektronik dan mengurangi penyimpanan arsip yang rentan dengan kerusakan.
B.  SARAN-SARAN
1.    Reformasi birokrasi merupakan upaya perbaikan kinerja dan pelayanan, dalam hal ini kementerian Agama hendaknya terus meningkatkan pembinaan dengan mengeluarkan kebijakan yang dapat meningkatkan kinerja dan pelayanan KUA. Dalam menentukan kebijakan, Kementerian Agama mungkin dapat memberdayakan Balitbang Kemenag untuk mengadakan penelitian sehingga kebijakan yang diambil bisa lebih aplikatif dan berdasar keadaan lapangan.
2.    Kepada Kantor Urusan Agama agar senantiasa berorientasi peningkatan kinerja, karena KUA merupakan lembaga terdepan yang langsung berhubungan dengan masyarakat dan kinerjanya langsung dinilai oleh masyarakat.
                                                                                    Kandangserang, 5 Mei 2016
                                                                                    Penulis,
                                                                                    H. Moh.Irkham, S.Ag
                                                                                    NIP 197703142002121002

Daftar Pustaka

[1] Peraturan Menteri Agama No 39 Tahun 2012 tentang Organisasi dan tata kerja Kantor Urusan Agama, BAB I Pasal 1 Ayat 2
[2] Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah , BAB 1 Pasal 1
[3] KUA Paradigma Baru, Makalah Drs. H. Ahmad Syaubari Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Lampung,  http://lampung.kemenag.go.id Selasa 16 Pebruari 2016 Jam 12.03 WIB
[5] Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama.
[6] Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, Bab IX Pasal 21 
[7] http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=230468, Senin tanggal 15 Pebruari 2016, jam 10.28 WIB 
[8]Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Abdul Manan, Kencana Jakarta Th 2006, hal xx. 
[9]Reformasi Pelyanan Publik: Teori, Kebijkan, dan Implementasi. Sinambela, Lilian Poltak, PT. Bumi Aksara  Jakarta Th 2008,  hal . 5 
[10] Hukum Perkawinan di Indonesia, M.Anshary MK, Pustaka Pelajar Yogyakarta Th 2010, hal. 21. 
[11]Pasal 30 s/d 34 Undang-Undang Perkawinan mengatur masalah hak dan kewajiban suami istri. Ketentuan itu sejiwa dengan Al-Qur’an, Hadits, dan jiwa Islam  
[12] Hukum Perkawinan di Indonesia, M.Anshary MK, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010) , hal. 18
[13] Nana Sudjana, Penelitian dan Penelitian Pendidikan, Bandung: Sinar Baru, 2001, h. 193
[14] Menurut Sugiyono, Purposive adalah teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya dianggap paling mengetahui atau pemegang kebijakan. Sedangkan teknik snow ball berarti teknik pengambilan sumber data yang pada awalnya berjumlah sedikit, namun kemudian bertambah besar, seiring dengan waktu serta kebutuhan sampai data tersebut jenuh. Lihat, Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2007, h.300
[15] Winarto Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 2004, h. 162 
[16] Peraturan Menteri Agama Nomor 46 Tahun 2014 tentang Pengelolaan PNBP tentang biaya Nikah atau Rujuk diluar KUA , Pasal 17 ayat 2. 
[17] http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=230468, Hari Selasa tanggal 16 Pebruari 2015 Jam 11.03 WIB 
[18] Surat Dirjen Bimas Islam Nomor Dj.II/2/HM.01/2536/2014 tentang Pembentukan Satuan Tugas Perbaikan Layanan dan Pengendalian Gratifikasi KUA. 
[19] Keputusan Direktur Jenderal  Bimbingan  Masyarakat Islam Nomor: DJ.II/ 369 TAHUN 2013 tanggal 13 April 2013 tentang Penerapan Sistem Manajemen Informasi Nikah (SIMKAH) pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.
[20] Transformasi Pelayanan Publik.Kurniawan, Pembaruan Aksara Jakarta Th 2005, hal 42
[21] Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia.AS. Moenir, Pembaruan Aksara Jakarta th 2010, hal 190
[22] Manajemen Pelayanan. Ratminto dan Atik septiwinarsi, Pustaka Pelajar Yogyakarta Th 2005, hal. 19 
[23] Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 36 Tahun 2012. 
[24] Kualitas Pelayanan Publik. Hardiyansyah, Gava Media Yogyakarta Th 2011, hal 65

8 komentar: