KUA KANDANGSERANG KAB. PEKALONGAN

SELAMAT DATANG DI KUA KANDANGSERANG...Kami Siap Melayani Anda...Kepuasan Anda Adalah Kebanggaan Kami....

..tulis kata anda disini..

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

Selasa, 29 Maret 2016

TRADISI NIKAH BOTO RUBUH KEC. KANDANGSERANG



TRADISI NIKAH BOTO RUBUH KEC.KANDANGSERANG KAB. PEKALONGAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN PENCATATAN  KUA
Oleh : H. Moh. Irkham, M.Pd.I
Abstrack :
Tradisi Nikah “Boto Rubuh” adalah tradisi nikah yang masih berjalan di daerah Kecamatan Kandangserang Kab.Pekalongan. Model pernikahan seperti ini adalah pernikahan yang dilaksanakan di depan jenazah karena orang tua/wali sudah berkehendak menikahkan putra-putrinya tetapi meninggal dunia.

Dalam pandangan Islam semua amal perbuatan manusia sebetulnya sudah diatur dengan tatanan yang rapi yang kita kenal dengan istilah "Syariat Islam". menurut syariat islam , bila kita telisik lebih dalam, tradisi nikah seperti ini sebetulnya adalah mencampurkan dua jenis ibadah / syariat yang dilaksanakan dalam satu waktu dengan alasan tertentu, yaitu antara "pernikahan" dan "pemulasaran Jenazah".

Topik ini menjadi lebih menarik karena dua jenis tuntutan syariat tersebut adalah dua jenis syariat yang saling berlawanan. Pernikahan merupakan suatu yang identik dengan suka cita, pesta pora dan penuh kebahagiaan. Sedangkan jenazah adalah identik dengan sesuatu yang duka dan menyedihkan.

Jenis pernikahan seperti ini sebenarnya adalah jenis pernikahan baru, fenomenal dan menarik. karena pernikahan seperti ini apabila dicari dasar hukum akan mengalami kesulitan. Pernikahan seperti ini sebetulnya pernah terjadi di tingkat nasional dan menjadi pro kontra serta issue hangat, yaitu ketika terjadi pernikahan Resia Tri Kresnawati (Putri mbah surip) dengan Samsuri. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan kita bahas bagaimana proses pelaksanaan nikah boto rubuh tersebut, bagaimana dalam perspektif islam serta pencatatanya di KUA.

PENDAHULUAN
            Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang mempunyai berbagai macam dimensi keunikan. Allah SWT menjadikan manusia sebagai makhluk yang mempuyai kelengkapan lebih sempurna dibanding makhluk lainya, sebagaimana hal ini digambarkan oleh Allah SWT dalam surat Attin ayat 4: “Sesungguhnya  Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Salah satu kelebihan Allah SWT dalam penciptaan Manusia adalah diberinya akal fikiran. Dengan akal fikiran inilah kemudian Allah SWT menjadikan manusia sebagai kholifah di muka bumi ini.
            Sebagai kholifatullah di bumi,  Menjadi sunatullah bagi manusia maupun mahluk lainya untuk mempertahankan kehidupanya melalui proses perkembangbiakan (memperbanyak keturunan).  Sebagaimana Allah berfirman dalam al qur’an :
z`»ysö6ß Ï%©!$# t,n=y{ ylºurøF{$# $yg¯=à2 $£JÏB àMÎ7/Yè? ÞÚöF{$# ô`ÏBur óOÎgÅ¡àÿRr& $£JÏBur Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÏÈ
 Artinya : “Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (Yasiin; 36)

Akan tetapi proses perkembangan manusia tentu berbeda dengan mahluk lainya, karena manusia dikaruniai akal fikiran. Maka untuk menata kelangsungan hidup tersebut  disusunlah suatu aturan yang dikenal dengan “Pernikahan/Perkawinan”. Hal ini bertujuan agar manusia tidak bebas berbuat menurut kehendak nafsunya seperti binatang, bebas bergaul dengan lawan jenisnya.[1]
            Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal ( lihat UU Perkawinan Bab I, Pasal 1).[2] Perkawinan dibuat tidak lain adalah untuk mengatur kehidupan Manusia dengan tujuan tertentu diantaranya :
-          Mengikuti Sunah Nabi Muhammad SAW.
-          Memelihara moral, kesucian ahlak dan terjalinya ikatan kasih sayang diantara suami istri menuju keluarga sakinah, mawadah dan rahmah.
-          Menemukan kedamaian jiwa, ketenangan fikiran dan perasaan.
-          Menemukan pasangan hidup untuk sama-sama berbagi rasa dalam kesenangan maupun kesusahan.
-          Melangsungkan/memelihara keturunan.
-          Menjadikan suami-istri dan anggota keluarga untuk lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.[3]
Allah SWT sebetulnya telah menyusun secara lengkap aturan tentang pelaksana’an Nikah yang dalam ilmu fiqihnya kita kenal dengan istilah “munakahat”.  Baik mengenai syarat rukunya, tatacara pelaksanaanya, termasuk hikmahnya. Hal ini tentu bertujuan agar manusia terhindar dari segala bentuk perbuatan yang dilarang oleh agama untuk kebaikan.
Untuk mengakomodir pelaksaan Nikah yang sesuai dengan perintah Allah SWT tersebut, maka dibentuklah oleh pemerintah berbagai aturan/perundangan  dan lembaga pengawas atau pelaksana pencatat nikah yang kita kenal dengan KUA. KUA merupakan lembaga pencatat dan pengawas pelaksanaan nikah, adapun petugas yang menangani permasalahan ini di kenal dengan “Penghulu”. 
Akan tetapi kita menyadari, bahwa manusia adalah juga makhluk social, sebagai makhluk social tentu manusia tidak bisa lepas dari unsur budaya, adat istiadat dan kultur setempat.
Sebagaimana telah banyak dikemukakan oleh para ahli sejarah, bahwa pengaruh Hinduisme sangat mempengaruhi budaya Jawa, dan terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga pulau Bali. Hal ini disebabkan oleh Hinduisme yang memberikan tata tulis, perhitungan tahun Saka, serta sastra yang mengandung filsafat keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus. Artinya, Hinduisme memberikan dan mengangkat budaya intelektual selapis suku Jawa dan melahirkan kerajaan-kerajaan besar dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang asli dan telah mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum) adatnya. Kemudian hal itu berpengaruh terhadap agama Islam yang mulai menyebar di Indonesia semenjak abad ke-13 M. [4]
Salah satu bentuk pengaruh tradisi atau budaya serta adat istiadat  yang masih berjalan di daerah Jawa, khususnya di Kecamatan Kandangserang Kab. Pekalongan  adalah pelaksanaan nikah “Boto Rubuh”. Nikah ini dilaksanakan mendadak  apabila  terjadi musibah atas kematian orangtua/wali salah satu calon mempelai di hadapan mayat sebelum dikuburkan.
Hal inilah yang menarik penulis untuk mengupas pelaksanaan nikah tersebut, maka dalam tulisan ini akan di uraikan beberapa hal berkaitan pelaksanaan nikah “Boto Rubuh” antara lain;
-          Bagaimana pelaksanaan nikah Boto Rubuh ?
-          Bagaimana pelaksanaan Nikah tersebut menurut ajaran Islam ?
-          Bagaimana pencatatan pelaksanaan nikah tersebut menurut UU dan aturan yang berlaku di KUA ?

GAMBARAN PELAKSANAAN NIKAH BOTO RUBUH
            Pernikahan adalah suatu peristiwa yang sacral, dimensi kultur/budaya sering mendominasi kegiatan pernikahan. Walaupun aturan dan ajaran syari’at sama, tapi tidak jarang pelaksanaan pernikahan antara satu dan lain daerah berbeda. Untuk menentukan tanggal pelaksanaan nikah bukan hal sembarangan, biasanya digunakan perhitungan jawa dengan memperhatikan hari dan waktu yang baik. Oleh karena itu, pelaksanaan pernikahan biasanya sudah direncanakan jauh hari sebelumnya dengan perhitungan weton (hari kelahiran) , keberuntungan dan lain sebagainya.[5]
            Pelaksanaan Nikah Boto Rubuh menurut tradisi wilayah kecamatan Kandangserang Kab.Pekalongan  adalah proses pernikahan yang dilaksanakan mendadak  yang disebabkan beberapa hal antara lain :
         Meninggalnya salah satu orang tua Calon Pengantin baik laki-laki atau perempuan.
         Meninggalnya salah satu Kakek atau Nenek Calon mempelai.
         Meninggalnya salah satu anggota keluarga dalam satu rumah calon mempelai laki-laki atau perempuan.[6]
Gambar pelaksanaaan Nikah Boto Rubuh
di Desa Garungwiyoro Kec. Kandangserang Pekalongan


Apabila terjadi hal diatas, maka biasanya pernikahan yang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya dilaksanakan secara mendadak di hadapan mayat. Hal ini disebabkan factor lain juga, karena menurut tradisi dan keyakinan yang berkembang, apabila ada salah satu anggota keluarga dalam satu rumah meninggal, maka menurut perhitungan jawa dalam kurun waktu satu tahun keluarga tersebut tidak boleh mengadakan hajatan termasuk pernikahan. Maka dari pada pernikahan tersebut diundur selama satu tahun, lebih baik untuk diadakan acara ijab dan qobul sebelum dikebumikan.[7] Proses inilah yang dikenal dengan istilah Nikah Boto Rubuh di wilayah Kecamatan Kandangserang terutama di wilayah bagian atas ( Ds. Bojongkoneng ke atas ).
Pelaksanaan nikah Boto Rubuh  di wilayah Kecamatan Kandangserang semenjak tahun 2010 memang jarang ditemukan, hal ini disebabkan ada sebagian Desa yang mengenal tradisi tersebut mengambil langkah preventif dengan menikahkan putra-putrinya ketika orang tua atau salah satu anggota keluarga dalam satu rumah dalam keadaan sakit berat. Akan tetapi mengingat factor biaya dalam pelaksanaan nikah (Resepsi dll), terkadang masih terjadi  satu atau dua kali peristiwa Nikah Boto Rubuh di beberapa Desa.
Dalam pelaksanaanya, nikah boto rubuh ini dilaksanakan secara sederhana atau hanya proses ijab qobul akan tetapi tidak meninggalkan syarat rukun diantaranya ; calon mempelai pria, calon mempelai wanita, dua orang saksi, wali serta mahar. Akan tetapi karena nikah ini mendadak biasanya dilaksanakan sesederhana mungkin, tanpa pesta resepsi maupun lainya. Dalam hal ini hanya dilaksanakan ijab dan qobul setelah mayat disucikan dan dikafani  yang di dahului pembacaan Al qur’an dan khutbah kemudian ijab qobul serta di ahiri dengan do’a, setelah itu jenazah di bawa ke pemakaman. Biasanya acara resepsi dan pesta dilaksanakan hari kemudian sesuai rencana perhitungan awal, artinya kedua pengantin di meriahkan lagi tanpa proses ijab lagi.[8]
Karena proses akad terjadi mendadak, sebagai petugas KUA biasanya mengalami kesulitan, terutama proses administrasi KUA. Disinilah sulitnya petugas dengan keterikatan aturan yang diintimidasi dengan sisi kemanusian sebagai pelayan masyarakat yang nanti akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
NIKAH BOTO RUBUH DALAM PERSPEKTIF ISLAM
            Berbicara mengenai tradisi Nikah Boto Rubuh (Menikah di depan Jenazah) menurut syariat islam, jenis pernikahan seperti ini sebenarnya adalah jenis pernikahan baru, fenomenal dan menarik. karena pernikahan seperti ini apabila dicari dasar hukum akan mengalami kesulitan. Pernikahan seperti ini sebetulnya pernah terjadi di tingkat nasional dan menjadi pro kontra serta issue hangat, yaitu ketika terjadi pernikahan Resia Tri Kresnawati (Putri mbah surip) dengan Samsuri.[9]
            Dalam pandangan Islam semua amal perbuatan manusia sebetulnya sudah diatur dengan tatanan yang rapi yang kita kenal dengan istilah "Syariat Islam". menurut syariat islam , bila kita telisik lebih dalam, tradisi nikah seperti ini sebetulnya adalah mencampurkan dua jenis ibadah / syariat yang dilaksanakan dalam satu waktu dengan alasan tertentu, yaitu antara "pernikahan" dan "pemulasaran Jenazah".
            Topik ini menjadi lebih menarik karena dua jenis tuntutan syariat tersebut adalah dua jenis syariat yang saling berlawanan. Pernikahan merupakan suatu yang identik dengan suka cita, pesta pora dan penuh kebahagiaan. Sedangkan jenazah adalah identik dengan sesuatu yang duka dan menyedihkan.
            Dalam ajaran Islam, Ta'rif Pernikahan adalah aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim[10]. Menurut syariat islam , Sunah Hukumnya untuk melaksanakan pesta sesudah akad nikah yang di kenal dengan istilah walimah, sebagaimana Rosulullah SAW  bersabda :
عن عا ئشة قا لت: قا ل ر سول الله ص.م: أعلنوا هذا النكاح واجعلو ه في المسا جد,واضر بوا عليه با لد فوف
Artinya :  Dari aisyah telah berkata RAsulullah SAW: “sebarkanlah berita pernikahan, selenggarakanlah di mesjid dan bunyikanlah rebana.[11]

            Sedang untuk pengurusan Jenazah dalam islam, adalah ibadah yang harus diselesaikan yang meliputi beberapa hal, diantaranya ; memandikan, mengkafani, menyolati dan menguburkanya. keempat hal ini harus segera dilaksanakan secepat mungkin. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam sebuah hadist :
عن أبى هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم  قَالَ: أَسْرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا إِلَيْهِ وَ إِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُوْنَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ
Artinya : Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah di dalam (mengurus) jenazah. Jika ia orang shalih maka kebaikanlah yang kalian persembahkan kepadanya, tetapi jika ia tidak seperti itu maka keburukanlah yang kalian letakkan dari atas pundak-pundak kalian”. [HR al-Bukhoriy: 1315, Muslim: 944, an-Nasa’iy: II: 42, Abu Dawud: 3181, Ibnu Majah: 1477 dan Ahmad: II/ 240, 280, 488. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih.[12]

            Tidak dapat dipungkiri, bahwa ibadah/syariat satu dengan yang lainya memang terkadang ada hubungan, seperti wudhu dan sholat umpamanya. Walaupun kedua ibadah ini merupakan ibadah yang berdiri masing-masing tetapi keduanya biasa dilakukan bersamaan, karena satu ibadah menjadi syarat bagi yang lainya. Oleh karena hal ini, dalam tradisi nikah Boto Rubuh ini biasanya alasan bagi mereka yang mempertahankanya adalah menghubungkan antara satu dan yang lain. Mereka berpendapat, bahwa nikah semacam ini adalah dilaksanakan juga menggunakan dasar wasiat. Biasanya orang tua yang meninggal karena sudah berwasiat untuk melihat pernikahan putra-putrinya.
            Alasan proses pernikahan di depan jenazah dimana semasa hidup almarhum berwasiat untuk menyaksikan anak keturunanya menikah perlu kita telisik ulang. Dalil yang mengatakan bahwa arwah seseorang yang sudah meninggal bisa melihat dan mendengar orang yang masih hidup memang ada. Yaitu dikisahkan oleh  Thalhah al Anshari ketika rosulullah berbicara/memanggil penghuni kubur, lalu para sahabat bertanya, apakah orang mati bisa mendengar, Rosulpun membenarkanya. Tetapi riwayat ini tidak menyebut sama sekali Rosul berbicara dengan mayat sebelum di kubur.[13]
            Apabila kita telisik lebih jauh, model wasiat untuk menikahkan putrinya seperti ini juga merupakan model wasiat yang tidak sah. Seorang laki-laki/wali misalnya berwasiat kepada seseorang untuk menikahkan putrinya kelak. ketika sudah meninggal , maka wasiat tersebut tidak sah karena kekuasaan wali setelah ia meninggal berpindah kepada wali yang lain menurut susunan wali yang telah ditentukan syariat islam.[14]
            Alasan lain yang juga digunakan bagi mereka yang mengadakan model pernikahan Boto Rubuh ini adalah biasanya mereka tidak ingin pernikahan tersebut di tunda pada tahun berikutnya. Menurut tradisi "Petung Jowo" bahwa ketika ada salah satu dari pihak keluarga meninggal, maka dalam kurun waktu satu tahun biasanya mereka tidak boleh mengadakan "Hajatan" diantaranya adalah pernikahan. Mereka beranggapan, apabila pantangan tersebut dilanggar maka akan tertimpa bala' / cobaan / kemalangan nasib.
            Keyakinan tersebut jelas sangat bertentangan dengan ajaran islam, menurut ajaran syariat islam bahwa bencana/cobaan/musibah merupakan sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah SWT, sebagaimana dalam hal ini Allah memperingatkan kita dalam Alqur’an :
!$tB z>$|¹r& `ÏB 7pt6ŠÅÁB Îû ÇÚöF{$# Ÿwur þÎû öNä3Å¡àÿRr& žwÎ) Îû 5=»tGÅ2 `ÏiB È@ö6s% br& !$ydr&uŽö9¯R 4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ n?tã «!$# ׎Å¡o ÇËËÈ

Artinya: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. ( Al Hadid ; 22)

Praktek kepercayaan tentang adanya musibah/bala apabila kita melakukan sesuatu pada waktu dan tempat yang kurang pas inilah yang perlu kita luruskan. Sebagai orang muslim yang beriman, kita harus yakin dan percaya , bahwa sesungguhnya musibah dan cobaan hakekatnya adalah urusan takdir Allah SWT. sebagaimana dalam sebuah hadits qudsiy, dari ‘Iyadh bin Himar Al-Mujasyi’iy -rodhiyallohu ‘anhu- dalam Shohih Muslim, bahwasanya Alloh –ta’ala- berkata:

وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ، وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا

Artinya :“Sesungguhnya Aku telah ciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan lurus. Lalu datanglah para setan, lalu menyimpangkan mereka dari agama mereka. Mengharamkan apa yang telah Aku halalkan dan memerintahkan mereka untuk menyekutukanku (berbuat kesyirikan) dengan apa yang tidak Aku turunkan hujjahnya.”[15]

            Sedang pandangan islam mengenai pelaksanaan nikah Boto Rubuh, sebagaimana kami jelaskan di awal, bahwa model nikah seperti ini adalah model penggabungan dua model ibadah. Maka jika pernikahan tersebut dilaksanakan hukumnya sah-sah saja, asal segala syarat dan rukun terpenuhi, sebagaimana pendapat KH.Arwani Faishal (Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Bahstul Masail NU) mengatakan :
            "Pernikahan seperti ini tidak dilarang , sah-sah saja karena tidak ada nash atau dalil yang Al Qur'an dan Hadist yang melarangnya. Namun seperti pernikahan pada umumnya,syarat dan rukunya juga harus tetap dipenuhi" [16]

Penulis melihat bahwa landasan dibolehkanya pelaksanaan model nikah ini adalah kebudayaan yang dalam bahasa arab kita kenal dengan istilah urf.istilah ‘urf yaitu sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sedangkan ‘urf ini dapat dibagi atas beberapa bagian.
Ditinjau dari segi sifatnya, ‘urf terbagi atas;
a.       ‘urf qauli, yaitu 'urf yang berupa perkataan.
b.      ‘urf amali, yaitu ‘urf yang berupa perbuatan.
Sedangkan ditinjau dari segi diterima atau tidaknya ‘urf, terbagi atas:
a.       ‘urf shahih, yaitu‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'.
b.      ‘urf fasid, yaitu ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'.
Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, ‘urf terbagi kepada:
a.       ‘urf 'âm, yaitu ‘urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan.
b.      ‘urf khash, yaitu ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja.
Dengan melihat macam-macam bentuk ‘urf dapat dikatakan bahwa kasus yang terjadi di desa Kandangserang Kab.Pekalongan ini termasuk ‘urf shahih mengingat apa yang dilakukan dengan tradisi ini ternyata bisa diterima oleh masyarakat dimana tradisi tersebut dijalankan dan juga tidak bertentangan dengan syara’[17].
            Melihat kenyataan diatas, maka menurut syariat islam model nikah seperti ini hukumnya boleh saja dilaksanakan asal syarat rukun terpenuhi, akan tetapi model ini mempunyai sisi negatif yang kurang baik yaitu dominasi budaya terhadap syariat sehingga harus mengeluarkan model  pelaksanaan nikah yang baru.         
NIKAH BOTO RUBUH DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI KUA
            Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan panjang tangan Pemerintah sebagai lembaga pencatat  peristiwa nikah. Pencatatan Nikah di KUA berdasar pada beberapa Undang-undang dan peraturan pemerintah.  Diantara beberpa peraturan yang harus diperhatikan oleh petugas pencatat nikah dalam melaksanakan pencatatan nikah tersebut  antara lain adalah  :
  1. UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  3. PP No 52 Tahun 2000 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku di Departemen Agama.
  4. KMA Nomor 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah.
  5. PMA No 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.
  6. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksaanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. (Kompilasi Hukum Islam).
Mengacu pada gambaran pelaksanaan nikah Boto Rubuh  yang pelaksanaanya biasanya mendadak, ada beberapa hal yang  menjadi pegangan utama dalam pelaksanaan nikah tersebut diantaranya :
1.      Keluarga Calon pengantin yang akan melaksanakan pernikahan, harus meminta izin/dispensasi dari kecamatan , karena pernikahan boto rubuh biasanya dilaksanakan mendadak (sebagaimana Ps. 16  PMA No 11 Tahun 2007)

2.      Karena pernikahan ini biasanya dilaksanakan mendadak, maka persyaratan usia bagi calon pengantin (minimal 16 Th bagi Perempuan dan 19 Tahun bagi Laki-laki) menjadi sesuatu yang mutlak. Apabila keduanya dibawah umur tentu tidak akan bisa dilakukan karena diperlukan dispensasi Pengadilan Agama dan butuh waktu lama untuk pengurusanya. Namun apabila keduanya belum berumur 21 Th, masih bisa ditolelir, karena cukup dengan izin tertulis dari kedua orang tua (Ps.6 UU No 1 Tahun 1974, Ps.8 PMA No 11 Tahun 2007) .

3.      Apabila calon suami berasal dari luar daerah, maka pengurusan administrasi harus sesegera mungkin, karena diperlukan  surat-surat pengantar nikah dari Desa serta rekomendasi/pemeriksaan  dari KUA setempat ( Pasal 10 PMA Nomor 11 Th 2007).

4.      Melakukan pemeriksaan calon pengantin , wali dan saksi sebelum diadakanya pernikahan sesui dengan ketentunan agama (Kompilasi Hukum Islam).

5.      Melasaksanakan pernikahan sesuai dengan syarat dan rukun Nikah menurut Agama  kemudian melakukan pencatatan.

Melihat peraturan diatas, pernikahan jenis boto rubuh ini menjadi sulit, karena pengurusan surat-surat tersebut memerlukan waktu yang panjang. Hal ini bisa menimbulkan ekses  kurang  baik  yaitu  penundaan  penguburan  Jernazah. Oleh karena itu , dalam pelaksanaan nikah ini terkadang ada dua model yang dilaksanakan oleh calon pengantin :
Pertama, proses pernikahan dapat dilaksanakan dalam kurun waktu satu hari/hari itu secara mendadak. Biasanya mereka yang dapat memenuhi persyaratan pada hari itu adalah pihak calon pengantin baik laki-laki atau perempuan keduanya berdomisili dalam satu wilayah kecamatan. Sehingga hal ini mempermudah pengurusan pendaftaran dan pelaksanaanya. Dalam kurun waktu satu hari  proses pemberitahuan kehendak ke KUA dapat terpenuhi, dan nikahpun dapat terlaksana dengan di hadiri petugas dari KUA.
Kedua, bagi mereka yang kesulitan mengurus persyaratan pemberitahuan kehendak nikah, biasanya mereka melaksanakan pernikahan dibawah meja/tanpa pemberitahuan ke KUA. Maka apabila terjadi hal yang demikian, maka biasanya pihak calon pengantin untuk mendapatkan legalitas hukum negara atas pernikahan tersebut ditempuh dengan menggunakan dua cara :
1.      Melakukan itsbat atau penetapan keabsahan pernikahan di Pengadilan Agama (sesuai  Bab II Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam).
2.      Pada hari berikutnya, mendaftarkan/menyampaikan pemberitahuan kehendak nikah ke KUA dengan status keduanya perjaka dan perawan (pihak KUA tidak mengetahui telah terjadi nikah karena secara administrasi mereka masih berstatus belum menikah).
Dari kedua model diatas, model yang kedua adalah model yang banyak digunakan oleh pihak keluarga. Karena terjadi musibah meninggalnya salah satu anggota keluarga dan repotnya pengurusan administrasi maka untuk memenuhi adat istiadat (petung jowo) diadakanlah pernikahan di bawah meja. Pada hari yang lain baru di beritahukan dan diadakan pernikahan lagi di hadapan petugas pencatat nikah di KUA. Model seperti ini dalam syariat islam kita kenal dengan istilah “Tajdidun Nikah” atau memperbaharui akad nikah untuk mendapat legalitas hukum.
Tajdidun nikah menurut mereka  diperbolehkan dan tidak merusak akad sebelumnya, akad nikah seperti ini bagi mereka hanya sekedar untuk tajammul (keindahan) dan memperoleh legalitas. Mereka berpendapat bahwa akad baru tersebut tidak merusak pada akad sebelumnya. Karena tidak mempengaruhi/merusak  akad sebelumnya, maka nikah baru tersebut secara hukum tidak mengurangi jatah hitungan talak bagi suami.[18]hal ini juga sebagaimana diterangkan dalam kitab fatkhul bari XIII/159 :
)بَابُ مَنْ بَايَعَ مَرَّتَيْنِ) حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمْ عَنْ يَزِيْدِ ابْنِ أَبِى عُبَيْدَة عَنْ سَلَمَةَ رض. قَالَ : بَايَعْنَا النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِى اَلاَ تَبَايَعَ قُلْتُ قَدْ بَايَعْتُ يَارَسُولَ اللهِ فِى الأَوَّلِ قَالَ وَفِى الثَّانِى رَوَاهُ البُخَارِى قَالَ ابْنُ مُنِيْر يُسْتَفَادُ مِنْ هَذَا الحَدِيْثِ أَنَّ إِعَادَةَ عَقْدِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ لَيْسَ فَسْحًا لِلْعَقْدِ الأَوَّلِ خِلاَفًا لِمَن زَعَمَ ذَلِكَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ قُلْتُ الصَّحِيحُ عِنْدَهُمْ إِنَّهُ لاَ يَكُوْنُ فَسْخًا كَمَا قَالَ الجمْهُور أهـ

Artinya : (bab tentang orang yang melakukan transaksi jual beli dua kali) bercerita kepadaku (Imam Bukhori) Abu Ashim dari Yazid ibn Abi Ubaidah dari Salmah RA. Salmah berkata : “saya melakukan transaksi jual beli dengan Nabi Muhammad   SAW di bawah pohon, kemudian Rasul berkata padaku, apakah kamu tidak melakukan akad transaksi? Saya telah melakukan akad wahai Rasulullah pada waktu pertama, Nabi berkata; dan pada waktu yang kedua.” Hadits riwayat al Bukhari. Ibn Munier berpendapat : Dari hadits ini dapat diambil manfaat (kesimpulan hukum) bahwa mengulangi akad nikah atau yang lainnya itu tidak merusak akad yang pertama berbeda dengan orang yang menyangka bahwa hal itu dari ulama as Syafii. Penyusun kitab Fathul Bari berkata : “ pendapat yang benar menurut ulama syafii, pernikahan itu sah tidak merusak sebagaimana disampaikan oleh mayoritas ulama.”
                  
            Namun perlu kita ketahui bahwa permasalahan  tersebut adalah masih tergolong persoalan khilafiyah atau perbedaan pendapat. Terdapat sebagaian golongan yang berpendapat model pernikahan seperti diatas tidak diperbolehkan. Mereka menganggap bahwa model nikah seperti itu akan merusak nikah sebelumnya (iqror dengan perpisahan), oleh karena itu mengurangi jatah talak suami dan mewajibkan pembayaran mahar lagi (sebagaimana pendapat Syaikh Ardabilly.[19]
            Proses pencatatan nikah seperti ini akan terjadi , karena dari pihak pencatat nikah KUA hanya melihat administrasi/persyaratan , terlebih setelah 10 hari pengumuman kehendak nikah yang sudah diumumkan tidak ada pengaduan keberatan dari masyarakat. Terlepas dari pro kontra dua pendapat diatas, petugas KUA ahirnya mengadakan pernikahan dan mencatat sesuai ketentuan dan perundangan yang berlaku.

KESIMPULAN DAN PENUTUP
            Setelah kita mengetahui uraian proses pelaksanaan Tradisi Nikah Boto Rubuh, termasuk dalam perspektif agama islam dan pencatatanya di KUA, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan diantaranya :
1.      Tradisi Nikah Boto rubuh adalah sah hukumnya, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Yang terpenting dalam pelaksanaan nikah ini adalah terpenuhinya syarat rukun pelaksanaan nikah sesuai hukum islam. Adapun kehadiran jenazah dalam pernikahan tersebut tidak memberi faedah apa-apa, wali atau orang tua yang telah meninggal tidak bisa menjadi wali atau saksi dalam pernikahan tersebut.
2.      Dalam pelaksanaan nikah boto rubuh, sisi negatif yang harus diluruskan adalah adanya pengaruh adat istiadat/budaya/kultur terhadap keyakinan masyarakat yang kurang benar misalnya: selama kurun satu tahun semenjak meninggalnya anggota keluarga tidak boleh mengadakan hajatan, orang tua yang meninggal tersebut menyaksikan pernikahan tersebut  dan lain sebagainya. Sebagai umat muslim yang beriman kita harus percaya bahwa nasib, musibah adalah sesuai yang telah ditentukan oleh Allah SWT.
3.      Pengurusan Jenazah menurut Rosulullah adalah sesuatu yang harus disegerakan, dengan adanya proses nikah Boto Rubuh ini, untuk mengurus persyaratan pernikahan tersebut tentu memakan proses dan waktu yang berakibat penundaan penguburan.
4.      Proses pernikahan Boto Rubuh apabila untuk mendapatkan legalitas hukum sangat sulit prosesnya , kalau pencatatan Kua dilaksanakan hari pelaksanaan perlu waktu yang berakibat penundaan penguburan jenazah. Namun apabila dilaksanakan ijab dan qobul untuk kedua kalinya maka status pernikahan itu masih terdapat khilafiyah.

Demikian tinjauan analisis pelaksanaan Tradisi Nikah Boto Rubuh dalam perspektif Islam dan pencatatanya di KUA. Tentu tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu masukan dari berbagai pihak kami harapkan untuk kesempurnaanya. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, Wallahu a’lam bisshowab.....terimakasih.















                                                                                    Kandangserang, 19 Maret 2014
                                                                                    Penulis,
                                                                                    H.Moh.Irkham,S.Ag,M.Pd.I









DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah , terj. Moh. Thalib, Bandung: al-Ma’arif, 1994

Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji “Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam” Edisi 2005, Depag, Jakarta 2005

BP4 Depag Prop Jateng,”Buku Panduan Keluarga Muslim”, Kanwil Depag Jateng 2007

Simuh, Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa, makalah dalam acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000 (http://google.com/menikahdepanjenazah , Senin, 10 Maret 2014, Jam.10.35 WIB).

Tempo Interaktif,3/8/2009, http://tempo.com, Senin 17 Maret 2014, jam 11.00 WIB

Sulaiman rasyid,"Fiqih Islam" Atthahiriyah cetakan ke 17, Jakarta 1975

HR Sunan Tumudzi, juz III, kitab nikah, bab 6, hal 389.  Hadits ini juga dapat ditemukan dalam redaksi lain, seperti: Ibn majjah di kitab nikah bab 20, dab Ahmad bin hambal juz 4 dan 5


http;//google.com/hukum nikah depan jenazah, Rabu, 12 Maret 2014, jam 11.00 WIB.

http://www.ahlussunnah.web.id/ramalan-bintang, Senin 17 Maret 2014, Jam 13.30 WIB.

http://NU Online, Sabtu 15 Maret 201, jam 11.30

Kamal Muchtar, et.al, Ushul Fiqh, Jilid I, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995

Hasyiyah al jamal ala al manhaj Juz IV

http://kuatuntang.blog.spot, Senin 17 Maret 2014, jam 14.30 WIB.








[1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah , terj. Moh. Thalib, Bandung: al-Ma’arif, 1994, hlm. 9
[2]Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji “Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam” Edisi 2005, Depag, Jakarta 2005, hal.43
[3] BP4 Depag Prop Jateng,”Buku Panduan Keluarga Muslim”, Kanwil Depag Jateng 2007, hal.3
[4] Simuh, Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa, makalah dalam acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000 (http://google.com/menikahdepanjenazah , Senin, 10 Maret 2014, Jam.10.35 WIB).
[5] Wawancara Bp.Faozan ( Lebe Trajumas ), Kamis, 6 Maret 2014, jam.09.30 WIB.
[6] Wawancara Bp.Denin (Garungwiyoro) , Senin 10 Maret 2014, Jam 14.30 WIB.
[7] Wawancara Bp.H.Danu (Lambur) , Selasa 11 Maret 2014, jam 09.30 WIB.
[8] Wawancara Bp.Fauzi (Bubak), Rabu tanggal 12 Maret 2014, Jam 10.10 WIB.
[9] Tempo Interaktif,3/8/2009, http://tempo.com, Senin 17 Maret 2014, jam 11.00 WIB
[10] sulaiman rasyid,"Fiqih Islam" Atthahiriyah cetakan ke 17, Jakarta 1975, hal 355
[11] HR Sunan Tumudzi, juz III, kitab nikah, bab 6, hal 389.  Hadits ini juga dapat ditemukan dalam redaksi lain, seperti: Ibn majjah di kitab nikah bab 20, dab Ahmad bin hambal juz 4 dan 5
[13] http;//google.com/hukum nikah depan jenazah, Rabu, 12 Maret 2014, jam 11.00 WIB.
[14] sulaiman rasyid,"Fiqih Islam" Atthahiriyah cetakan ke 17, Jakarta 1975, hal 353
[15] http://www.ahlussunnah.web.id/ramalan-bintang, Senin 17 Maret 2014, Jam 13.30 WIB
[16] http://NU Online, Sabtu 15 Maret 201, jam 11.30
[17] Kamal Muchtar, et.al, Ushul Fiqh, Jilid I, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 147-149
[18] Hasyiyah al jamal ala al manhaj Juz IV hal 245,
[19] http://kuatuntang.blog.spot, Senin 17 Maret 2014, jam 14.30 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar