TRADISI NIKAH BOTO RUBUH KEC.KANDANGSERANG KAB. PEKALONGAN
DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN PENCATATAN KUA
Oleh :
H. Moh. Irkham, M.Pd.I
Abstrack
:
Tradisi Nikah “Boto Rubuh” adalah tradisi nikah yang masih
berjalan di daerah Kecamatan Kandangserang Kab.Pekalongan. Model pernikahan
seperti ini adalah pernikahan yang dilaksanakan di depan jenazah karena orang
tua/wali sudah berkehendak menikahkan putra-putrinya tetapi meninggal dunia.
Dalam pandangan Islam semua amal perbuatan manusia sebetulnya
sudah diatur dengan tatanan yang rapi yang kita kenal dengan istilah
"Syariat Islam". menurut syariat islam , bila kita telisik lebih
dalam, tradisi nikah seperti ini sebetulnya adalah mencampurkan dua jenis
ibadah / syariat yang dilaksanakan dalam satu waktu dengan alasan tertentu,
yaitu antara "pernikahan" dan "pemulasaran Jenazah".
Topik ini menjadi lebih menarik karena dua jenis tuntutan
syariat tersebut adalah dua jenis syariat yang saling berlawanan. Pernikahan
merupakan suatu yang identik dengan suka cita, pesta pora dan penuh
kebahagiaan. Sedangkan jenazah adalah identik dengan sesuatu yang duka dan
menyedihkan.
Jenis pernikahan seperti ini sebenarnya adalah jenis pernikahan
baru, fenomenal dan menarik. karena pernikahan seperti ini apabila dicari dasar
hukum akan mengalami kesulitan. Pernikahan seperti ini sebetulnya pernah
terjadi di tingkat nasional dan menjadi pro kontra serta issue hangat, yaitu
ketika terjadi pernikahan Resia Tri Kresnawati (Putri mbah surip) dengan
Samsuri. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan kita bahas bagaimana proses
pelaksanaan nikah boto rubuh tersebut, bagaimana dalam perspektif islam serta
pencatatanya di KUA.
PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang mempunyai berbagai macam dimensi
keunikan. Allah SWT menjadikan manusia sebagai makhluk yang mempuyai
kelengkapan lebih sempurna dibanding makhluk lainya, sebagaimana hal ini
digambarkan oleh Allah SWT dalam surat Attin ayat 4: “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Salah satu kelebihan
Allah SWT dalam penciptaan Manusia adalah diberinya akal fikiran. Dengan akal
fikiran inilah kemudian Allah SWT menjadikan manusia sebagai kholifah di muka
bumi ini.
Sebagai
kholifatullah di bumi, Menjadi
sunatullah bagi manusia maupun mahluk lainya untuk mempertahankan kehidupanya
melalui proses perkembangbiakan (memperbanyak keturunan). Sebagaimana Allah berfirman dalam al qur’an :
z`»ysö6ß Ï%©!$# t,n=y{ ylºurøF{$# $yg¯=à2 $£JÏB àMÎ7/Yè? ÞÚöF{$# ô`ÏBur óOÎgÅ¡àÿRr& $£JÏBur w tbqßJn=ôèt ÇÌÏÈ
Artinya : “Maha Suci Tuhan yang Telah
menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh
bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (Yasiin;
36)
Akan tetapi proses perkembangan manusia tentu
berbeda dengan mahluk lainya, karena manusia dikaruniai akal fikiran. Maka
untuk menata kelangsungan hidup tersebut
disusunlah suatu aturan yang dikenal dengan “Pernikahan/Perkawinan”. Hal
ini bertujuan agar manusia tidak bebas berbuat menurut kehendak nafsunya
seperti binatang, bebas bergaul dengan lawan jenisnya.[1]
Perkawinan
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal ( lihat UU
Perkawinan Bab I, Pasal 1).[2]
Perkawinan dibuat tidak lain adalah untuk mengatur kehidupan Manusia dengan
tujuan tertentu diantaranya :
-
Mengikuti Sunah Nabi Muhammad SAW.
-
Memelihara moral, kesucian ahlak dan
terjalinya ikatan kasih sayang diantara suami istri menuju keluarga sakinah,
mawadah dan rahmah.
-
Menemukan kedamaian jiwa, ketenangan
fikiran dan perasaan.
-
Menemukan pasangan hidup untuk
sama-sama berbagi rasa dalam kesenangan maupun kesusahan.
-
Melangsungkan/memelihara keturunan.
-
Menjadikan suami-istri dan anggota
keluarga untuk lebih mendekatkan diri pada Allah SWT.[3]
Allah SWT sebetulnya telah menyusun secara
lengkap aturan tentang pelaksana’an Nikah yang dalam ilmu fiqihnya kita kenal
dengan istilah “munakahat”. Baik
mengenai syarat rukunya, tatacara pelaksanaanya, termasuk hikmahnya. Hal ini
tentu bertujuan agar manusia terhindar dari segala bentuk perbuatan yang
dilarang oleh agama untuk kebaikan.
Untuk mengakomodir pelaksaan Nikah yang sesuai
dengan perintah Allah SWT tersebut, maka dibentuklah oleh pemerintah berbagai
aturan/perundangan dan lembaga pengawas
atau pelaksana pencatat nikah yang kita kenal dengan KUA. KUA merupakan lembaga
pencatat dan pengawas pelaksanaan nikah, adapun petugas yang menangani permasalahan ini di
kenal dengan “Penghulu”.
Akan tetapi kita menyadari, bahwa manusia
adalah juga makhluk social, sebagai makhluk social tentu manusia tidak bisa
lepas dari unsur budaya, adat istiadat dan kultur setempat.
Sebagaimana
telah banyak dikemukakan oleh para ahli sejarah, bahwa pengaruh Hinduisme sangat
mempengaruhi budaya Jawa, dan terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga
pulau Bali. Hal ini disebabkan oleh Hinduisme yang memberikan tata tulis,
perhitungan tahun Saka, serta sastra yang mengandung filsafat keagamaan beserta
ajaran mistik yang cukup halus. Artinya, Hinduisme memberikan dan mengangkat
budaya intelektual selapis suku Jawa dan melahirkan kerajaan-kerajaan besar
dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang asli dan telah mengakar dengan
berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum) adatnya. Kemudian hal itu berpengaruh
terhadap agama Islam yang mulai menyebar di Indonesia
semenjak abad ke-13 M. [4]
Salah
satu bentuk pengaruh tradisi atau budaya serta adat istiadat yang masih berjalan di daerah Jawa, khususnya
di Kecamatan Kandangserang Kab. Pekalongan adalah
pelaksanaan nikah “Boto Rubuh”. Nikah ini dilaksanakan mendadak apabila
terjadi musibah atas kematian orangtua/wali salah satu calon mempelai di
hadapan mayat sebelum dikuburkan.
Hal
inilah yang menarik penulis untuk mengupas pelaksanaan nikah tersebut, maka
dalam tulisan ini akan di uraikan beberapa hal berkaitan pelaksanaan nikah
“Boto Rubuh” antara lain;
-
Bagaimana
pelaksanaan nikah Boto Rubuh ?
-
Bagaimana
pelaksanaan Nikah tersebut menurut ajaran Islam ?
-
Bagaimana
pencatatan pelaksanaan nikah tersebut menurut UU dan aturan yang berlaku di KUA
?
GAMBARAN PELAKSANAAN NIKAH BOTO RUBUH
Pernikahan
adalah suatu peristiwa yang sacral, dimensi kultur/budaya sering mendominasi
kegiatan pernikahan. Walaupun aturan dan ajaran syari’at sama, tapi tidak
jarang pelaksanaan pernikahan antara satu dan lain daerah berbeda. Untuk
menentukan tanggal pelaksanaan nikah bukan hal sembarangan, biasanya digunakan
perhitungan jawa dengan memperhatikan hari dan waktu yang baik. Oleh karena
itu, pelaksanaan pernikahan biasanya sudah direncanakan jauh hari sebelumnya
dengan perhitungan weton (hari kelahiran) , keberuntungan dan lain sebagainya.[5]
Pelaksanaan Nikah Boto Rubuh menurut
tradisi wilayah kecamatan Kandangserang Kab.Pekalongan adalah proses pernikahan yang dilaksanakan
mendadak yang disebabkan beberapa hal
antara lain :
•
Meninggalnya
salah satu orang tua Calon Pengantin baik laki-laki atau perempuan.
•
Meninggalnya
salah satu Kakek atau Nenek Calon mempelai.
•
Meninggalnya
salah satu anggota keluarga dalam satu rumah calon mempelai laki-laki atau
perempuan.[6]
Gambar pelaksanaaan
Nikah Boto Rubuh
di Desa Garungwiyoro
Kec. Kandangserang Pekalongan
Apabila terjadi hal diatas, maka biasanya pernikahan yang sudah
direncanakan jauh hari sebelumnya dilaksanakan secara mendadak di hadapan
mayat. Hal ini disebabkan factor lain juga, karena menurut tradisi dan keyakinan
yang berkembang, apabila ada salah satu anggota keluarga dalam satu rumah
meninggal, maka menurut perhitungan jawa dalam kurun waktu satu tahun keluarga
tersebut tidak boleh mengadakan hajatan termasuk pernikahan. Maka dari pada
pernikahan tersebut diundur selama satu tahun, lebih baik untuk diadakan acara
ijab dan qobul sebelum dikebumikan.[7]
Proses inilah yang dikenal dengan istilah Nikah Boto Rubuh di wilayah Kecamatan
Kandangserang terutama di wilayah bagian atas ( Ds. Bojongkoneng ke atas ).
Pelaksanaan nikah Boto Rubuh
di wilayah Kecamatan Kandangserang semenjak tahun 2010 memang jarang
ditemukan, hal ini disebabkan ada sebagian Desa yang mengenal tradisi tersebut
mengambil langkah preventif dengan menikahkan putra-putrinya ketika orang tua
atau salah satu anggota keluarga dalam satu rumah dalam keadaan sakit berat.
Akan tetapi mengingat factor biaya dalam pelaksanaan nikah (Resepsi dll),
terkadang masih terjadi satu atau dua
kali peristiwa Nikah Boto Rubuh di beberapa Desa.
Dalam pelaksanaanya, nikah boto rubuh ini dilaksanakan secara
sederhana atau hanya proses ijab qobul akan tetapi tidak meninggalkan syarat
rukun diantaranya ; calon mempelai pria, calon mempelai wanita, dua orang
saksi, wali serta mahar. Akan tetapi karena nikah ini mendadak biasanya
dilaksanakan sesederhana mungkin, tanpa pesta resepsi maupun lainya. Dalam hal
ini hanya dilaksanakan ijab dan qobul setelah mayat disucikan dan dikafani yang di dahului pembacaan Al qur’an dan
khutbah kemudian ijab qobul serta di ahiri dengan do’a, setelah itu jenazah di
bawa ke pemakaman. Biasanya acara resepsi dan pesta dilaksanakan hari kemudian
sesuai rencana perhitungan awal, artinya kedua pengantin di meriahkan lagi
tanpa proses ijab lagi.[8]
Karena proses akad terjadi mendadak, sebagai petugas KUA
biasanya mengalami kesulitan, terutama proses administrasi KUA. Disinilah
sulitnya petugas dengan keterikatan aturan yang diintimidasi dengan sisi
kemanusian sebagai pelayan masyarakat yang nanti akan dijelaskan pada
pembahasan selanjutnya.
NIKAH
BOTO RUBUH DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Berbicara mengenai tradisi Nikah
Boto Rubuh (Menikah di depan Jenazah) menurut syariat islam, jenis pernikahan
seperti ini sebenarnya adalah jenis pernikahan baru, fenomenal dan menarik.
karena pernikahan seperti ini apabila dicari dasar hukum akan mengalami
kesulitan. Pernikahan seperti ini sebetulnya pernah terjadi di tingkat nasional
dan menjadi pro kontra serta issue hangat, yaitu ketika terjadi pernikahan
Resia Tri Kresnawati (Putri mbah surip) dengan Samsuri.[9]
Dalam pandangan Islam semua amal
perbuatan manusia sebetulnya sudah diatur dengan tatanan yang rapi yang kita
kenal dengan istilah "Syariat Islam". menurut syariat islam , bila
kita telisik lebih dalam, tradisi nikah seperti ini sebetulnya adalah
mencampurkan dua jenis ibadah / syariat yang dilaksanakan dalam satu waktu
dengan alasan tertentu, yaitu antara "pernikahan" dan
"pemulasaran Jenazah".
Topik ini menjadi lebih menarik
karena dua jenis tuntutan syariat tersebut adalah dua jenis syariat yang saling
berlawanan. Pernikahan merupakan suatu yang identik dengan suka cita, pesta
pora dan penuh kebahagiaan. Sedangkan jenazah adalah identik dengan sesuatu
yang duka dan menyedihkan.
Dalam ajaran Islam, Ta'rif
Pernikahan adalah aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang antara keduanya bukan muhrim[10].
Menurut syariat islam , Sunah Hukumnya untuk melaksanakan pesta sesudah akad
nikah yang di kenal dengan istilah walimah, sebagaimana Rosulullah
SAW bersabda
:
عن عا ئشة قا
لت: قا ل ر سول الله ص.م: أعلنوا هذا النكاح واجعلو ه في المسا جد,واضر بوا عليه
با لد فوف
Artinya : Dari aisyah telah berkata RAsulullah SAW:
“sebarkanlah berita pernikahan, selenggarakanlah di mesjid dan bunyikanlah
rebana.[11]
Sedang untuk pengurusan Jenazah
dalam islam, adalah ibadah yang harus diselesaikan yang meliputi beberapa hal,
diantaranya ; memandikan, mengkafani, menyolati dan menguburkanya. keempat hal
ini harus segera dilaksanakan secepat mungkin. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam
sebuah hadist :
عن أبى هريرة
رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: أَسْرِعُوْا
بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا إِلَيْهِ وَ إِنْ
يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُوْنَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ
Artinya : Dari
Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Bersegeralah di dalam (mengurus) jenazah. Jika ia orang shalih maka
kebaikanlah yang kalian persembahkan kepadanya, tetapi jika ia tidak seperti
itu maka keburukanlah yang kalian letakkan dari atas pundak-pundak kalian”. [HR
al-Bukhoriy: 1315, Muslim: 944, an-Nasa’iy: II: 42, Abu Dawud: 3181, Ibnu
Majah: 1477 dan Ahmad: II/ 240, 280, 488. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
shahih.[12]
Tidak dapat dipungkiri, bahwa
ibadah/syariat satu dengan yang lainya memang terkadang ada hubungan, seperti
wudhu dan sholat umpamanya. Walaupun kedua ibadah ini merupakan ibadah yang
berdiri masing-masing tetapi keduanya biasa dilakukan bersamaan, karena satu
ibadah menjadi syarat bagi yang lainya. Oleh karena hal ini, dalam tradisi
nikah Boto Rubuh ini biasanya alasan bagi mereka yang mempertahankanya adalah
menghubungkan antara satu dan yang lain. Mereka berpendapat, bahwa nikah semacam
ini adalah dilaksanakan juga menggunakan dasar wasiat. Biasanya orang tua yang
meninggal karena sudah berwasiat untuk melihat pernikahan putra-putrinya.
Alasan proses pernikahan di depan
jenazah dimana semasa hidup almarhum berwasiat untuk menyaksikan anak
keturunanya menikah perlu kita telisik ulang. Dalil yang mengatakan bahwa arwah
seseorang yang sudah meninggal bisa melihat dan mendengar orang yang masih
hidup memang ada. Yaitu dikisahkan oleh
Thalhah al Anshari ketika rosulullah berbicara/memanggil penghuni kubur,
lalu para sahabat bertanya, apakah orang mati bisa mendengar, Rosulpun
membenarkanya. Tetapi riwayat ini tidak menyebut sama sekali Rosul berbicara
dengan mayat sebelum di kubur.[13]
Apabila kita telisik lebih jauh,
model wasiat untuk menikahkan putrinya seperti ini juga merupakan model wasiat
yang tidak sah. Seorang laki-laki/wali misalnya berwasiat kepada seseorang
untuk menikahkan putrinya kelak. ketika sudah meninggal , maka wasiat tersebut
tidak sah karena kekuasaan wali setelah ia meninggal berpindah kepada wali yang
lain menurut susunan wali yang telah ditentukan syariat islam.[14]
Alasan lain yang juga digunakan bagi
mereka yang mengadakan model pernikahan Boto Rubuh ini adalah biasanya mereka
tidak ingin pernikahan tersebut di tunda pada tahun berikutnya. Menurut tradisi
"Petung Jowo" bahwa ketika ada salah satu dari pihak keluarga
meninggal, maka dalam kurun waktu satu tahun biasanya mereka tidak boleh
mengadakan "Hajatan" diantaranya adalah pernikahan. Mereka
beranggapan, apabila pantangan tersebut dilanggar maka akan tertimpa bala' /
cobaan / kemalangan nasib.
Keyakinan tersebut jelas sangat
bertentangan dengan ajaran islam, menurut ajaran syariat islam bahwa
bencana/cobaan/musibah merupakan sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah SWT,
sebagaimana dalam hal ini Allah memperingatkan kita dalam Alqur’an :
!$tB z>$|¹r& `ÏB 7pt6ÅÁB Îû ÇÚöF{$# wur þÎû öNä3Å¡àÿRr& wÎ) Îû 5=»tGÅ2 `ÏiB È@ö6s% br& !$ydr&uö9¯R 4 ¨bÎ) Ï9ºs n?tã «!$# ×Å¡o ÇËËÈ
Artinya: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di
bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab
(Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. ( Al Hadid ; 22)
Praktek kepercayaan tentang adanya musibah/bala apabila kita
melakukan sesuatu pada waktu dan tempat yang kurang pas inilah yang perlu kita
luruskan. Sebagai orang muslim yang beriman, kita harus yakin dan percaya ,
bahwa sesungguhnya musibah dan cobaan hakekatnya adalah urusan takdir Allah
SWT. sebagaimana dalam sebuah hadits qudsiy, dari ‘Iyadh bin Himar Al-Mujasyi’iy -rodhiyallohu ‘anhu- dalam
Shohih Muslim, bahwasanya Alloh –ta’ala- berkata:
وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ، وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا
Artinya
:“Sesungguhnya Aku telah ciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan lurus.
Lalu datanglah para setan, lalu menyimpangkan mereka dari agama mereka.
Mengharamkan apa yang telah Aku halalkan dan memerintahkan mereka untuk
menyekutukanku (berbuat kesyirikan) dengan apa yang tidak Aku turunkan
hujjahnya.”[15]
Sedang pandangan islam mengenai
pelaksanaan nikah Boto Rubuh, sebagaimana kami jelaskan di awal, bahwa model
nikah seperti ini adalah model penggabungan dua model ibadah. Maka jika
pernikahan tersebut dilaksanakan hukumnya sah-sah saja, asal segala syarat dan
rukun terpenuhi, sebagaimana pendapat KH.Arwani Faishal (Wakil Ketua Pengurus
Pusat Lembaga Bahstul Masail NU) mengatakan :
"Pernikahan seperti ini tidak dilarang ,
sah-sah saja karena tidak ada nash atau dalil yang Al Qur'an dan Hadist yang
melarangnya. Namun seperti pernikahan pada umumnya,syarat dan rukunya juga
harus tetap dipenuhi" [16]
Penulis melihat
bahwa landasan dibolehkanya pelaksanaan model nikah ini adalah kebudayaan yang
dalam bahasa arab kita kenal dengan istilah urf.istilah ‘urf yaitu sesuatu yang telah dikenal oleh
masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Sedangkan ‘urf ini dapat dibagi atas beberapa bagian.
Ditinjau dari
segi sifatnya, ‘urf terbagi atas;
a.
‘urf qauli, yaitu 'urf yang berupa perkataan.
b.
‘urf amali, yaitu ‘urf yang berupa perbuatan.
Sedangkan
ditinjau dari segi diterima atau tidaknya ‘urf, terbagi atas:
a.
‘urf shahih, yaitu‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak
bertentangan dengan syara'.
b.
‘urf fasid, yaitu ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima,
karena bertentangan dengan syara'.
Ditinjau dari
ruang lingkup berlakunya, ‘urf terbagi kepada:
a.
‘urf 'âm, yaitu ‘urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan
keadaan.
b.
‘urf khash, yaitu ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau
keadaan tertentu saja.
Dengan melihat macam-macam bentuk ‘urf dapat dikatakan bahwa kasus yang terjadi di
desa Kandangserang Kab.Pekalongan ini termasuk ‘urf shahih mengingat apa
yang dilakukan dengan tradisi ini ternyata bisa diterima oleh masyarakat dimana
tradisi tersebut dijalankan dan juga tidak bertentangan dengan syara’[17].
Melihat
kenyataan diatas, maka menurut syariat islam model nikah seperti ini hukumnya
boleh saja dilaksanakan asal syarat rukun terpenuhi, akan tetapi model ini
mempunyai sisi negatif yang kurang baik yaitu dominasi budaya terhadap syariat
sehingga harus mengeluarkan model
pelaksanaan nikah yang baru.
NIKAH BOTO RUBUH DALAM PERSPEKTIF
ADMINISTRASI KUA
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan
panjang tangan Pemerintah sebagai lembaga pencatat peristiwa nikah. Pencatatan Nikah di KUA
berdasar pada beberapa Undang-undang dan peraturan pemerintah. Diantara beberpa peraturan yang
harus diperhatikan oleh petugas pencatat nikah dalam melaksanakan pencatatan
nikah tersebut antara lain adalah :
- UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- PP No 52 Tahun 2000 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku di Departemen Agama.
- KMA Nomor 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah.
- PMA No 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.
- Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksaanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. (Kompilasi Hukum Islam).
Mengacu pada gambaran pelaksanaan
nikah Boto Rubuh yang pelaksanaanya
biasanya mendadak, ada beberapa hal yang
menjadi pegangan utama dalam pelaksanaan nikah tersebut diantaranya :
1.
Keluarga Calon pengantin yang akan
melaksanakan pernikahan, harus meminta izin/dispensasi dari kecamatan , karena
pernikahan boto rubuh biasanya dilaksanakan mendadak (sebagaimana Ps. 16 PMA No 11 Tahun 2007)
2.
Karena pernikahan ini biasanya
dilaksanakan mendadak, maka persyaratan usia bagi calon pengantin (minimal 16
Th bagi Perempuan dan 19 Tahun bagi Laki-laki) menjadi sesuatu yang mutlak.
Apabila keduanya dibawah umur tentu tidak akan bisa dilakukan karena diperlukan
dispensasi Pengadilan Agama dan butuh waktu lama untuk pengurusanya. Namun apabila
keduanya belum berumur 21 Th, masih bisa ditolelir, karena cukup dengan izin
tertulis dari kedua orang tua (Ps.6 UU No 1 Tahun 1974, Ps.8 PMA No 11 Tahun
2007) .
3.
Apabila calon suami berasal dari
luar daerah, maka pengurusan administrasi harus sesegera mungkin, karena
diperlukan surat-surat pengantar nikah
dari Desa serta rekomendasi/pemeriksaan dari KUA setempat ( Pasal 10 PMA Nomor 11 Th
2007).
4.
Melakukan pemeriksaan calon
pengantin , wali dan saksi sebelum diadakanya pernikahan sesui dengan
ketentunan agama (Kompilasi Hukum Islam).
5.
Melasaksanakan pernikahan sesuai
dengan syarat dan rukun Nikah menurut Agama kemudian melakukan pencatatan.
Melihat
peraturan diatas, pernikahan jenis boto rubuh ini menjadi sulit, karena
pengurusan surat-surat tersebut memerlukan waktu yang panjang. Hal ini bisa
menimbulkan ekses kurang baik
yaitu penundaan penguburan
Jernazah. Oleh karena itu , dalam pelaksanaan nikah ini terkadang ada
dua model yang dilaksanakan oleh calon pengantin :
Pertama,
proses pernikahan dapat dilaksanakan dalam kurun waktu satu hari/hari itu
secara mendadak. Biasanya mereka yang dapat memenuhi persyaratan pada hari itu
adalah pihak calon pengantin baik laki-laki atau perempuan keduanya berdomisili
dalam satu wilayah kecamatan. Sehingga hal ini mempermudah pengurusan
pendaftaran dan pelaksanaanya. Dalam kurun waktu satu hari proses pemberitahuan kehendak ke KUA dapat
terpenuhi, dan nikahpun dapat terlaksana dengan di hadiri petugas dari KUA.
Kedua,
bagi mereka yang kesulitan mengurus persyaratan pemberitahuan kehendak nikah,
biasanya mereka melaksanakan pernikahan dibawah meja/tanpa pemberitahuan ke
KUA. Maka apabila terjadi hal yang demikian, maka biasanya pihak calon
pengantin untuk mendapatkan legalitas hukum negara atas pernikahan tersebut
ditempuh dengan menggunakan dua cara :
1. Melakukan itsbat atau penetapan keabsahan pernikahan
di Pengadilan Agama
(sesuai Bab II Pasal 7 Kompilasi Hukum
Islam).
2. Pada hari berikutnya,
mendaftarkan/menyampaikan pemberitahuan kehendak nikah ke KUA dengan status
keduanya perjaka dan perawan (pihak KUA tidak mengetahui telah terjadi nikah
karena secara administrasi mereka masih berstatus belum menikah).
Dari kedua model diatas, model yang
kedua adalah model yang banyak digunakan oleh pihak keluarga. Karena terjadi
musibah meninggalnya salah satu anggota keluarga dan repotnya pengurusan
administrasi maka untuk memenuhi adat istiadat (petung jowo) diadakanlah
pernikahan di bawah meja. Pada hari yang lain baru di beritahukan dan diadakan
pernikahan lagi di hadapan petugas pencatat nikah di KUA. Model seperti ini dalam syariat
islam kita kenal dengan istilah “Tajdidun Nikah” atau memperbaharui akad nikah
untuk mendapat legalitas hukum.
Tajdidun nikah menurut mereka diperbolehkan dan tidak merusak akad
sebelumnya, akad nikah seperti ini bagi mereka hanya sekedar untuk tajammul
(keindahan) dan memperoleh legalitas. Mereka berpendapat bahwa akad baru
tersebut tidak merusak pada akad sebelumnya. Karena tidak
mempengaruhi/merusak akad sebelumnya,
maka nikah baru tersebut secara hukum tidak mengurangi jatah hitungan talak
bagi suami.[18]hal
ini juga sebagaimana diterangkan dalam kitab fatkhul bari XIII/159 :
)بَابُ مَنْ بَايَعَ مَرَّتَيْنِ) حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمْ عَنْ
يَزِيْدِ ابْنِ أَبِى عُبَيْدَة عَنْ سَلَمَةَ رض. قَالَ : بَايَعْنَا النَّبِىَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِى اَلاَ تَبَايَعَ
قُلْتُ قَدْ بَايَعْتُ يَارَسُولَ اللهِ فِى الأَوَّلِ قَالَ وَفِى الثَّانِى
رَوَاهُ البُخَارِى قَالَ ابْنُ مُنِيْر يُسْتَفَادُ مِنْ هَذَا الحَدِيْثِ أَنَّ
إِعَادَةَ عَقْدِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ لَيْسَ فَسْحًا لِلْعَقْدِ الأَوَّلِ
خِلاَفًا لِمَن زَعَمَ ذَلِكَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ قُلْتُ الصَّحِيحُ عِنْدَهُمْ
إِنَّهُ لاَ يَكُوْنُ فَسْخًا كَمَا قَالَ الجمْهُور أهـ
Artinya : (bab tentang orang yang melakukan transaksi jual beli dua kali)
bercerita kepadaku (Imam Bukhori) Abu Ashim dari Yazid ibn Abi Ubaidah dari
Salmah RA. Salmah berkata : “saya melakukan transaksi jual beli dengan Nabi
Muhammad SAW di bawah pohon, kemudian
Rasul berkata padaku, apakah kamu tidak melakukan akad transaksi? Saya telah
melakukan akad wahai Rasulullah pada waktu pertama, Nabi berkata; dan pada
waktu yang kedua.” Hadits riwayat al Bukhari. Ibn Munier berpendapat : Dari
hadits ini dapat diambil manfaat (kesimpulan hukum) bahwa mengulangi akad nikah
atau yang lainnya itu tidak merusak akad yang pertama berbeda dengan orang yang
menyangka bahwa hal itu dari ulama as Syafii. Penyusun kitab Fathul Bari
berkata : “ pendapat yang benar menurut ulama syafii, pernikahan itu sah tidak
merusak sebagaimana disampaikan oleh mayoritas ulama.”
Namun perlu kita
ketahui bahwa permasalahan tersebut
adalah masih tergolong persoalan khilafiyah atau perbedaan pendapat. Terdapat
sebagaian golongan yang berpendapat model pernikahan seperti diatas tidak
diperbolehkan. Mereka menganggap bahwa model nikah seperti itu akan merusak
nikah sebelumnya (iqror dengan perpisahan), oleh karena itu mengurangi jatah
talak suami dan mewajibkan pembayaran mahar lagi (sebagaimana pendapat Syaikh
Ardabilly.[19]
Proses pencatatan nikah
seperti ini akan terjadi , karena dari pihak pencatat nikah KUA hanya melihat
administrasi/persyaratan , terlebih setelah 10 hari pengumuman kehendak nikah
yang sudah diumumkan tidak ada pengaduan keberatan dari masyarakat. Terlepas
dari pro kontra dua pendapat diatas, petugas KUA ahirnya mengadakan pernikahan
dan mencatat sesuai ketentuan dan perundangan yang berlaku.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Setelah
kita mengetahui uraian proses pelaksanaan Tradisi Nikah Boto Rubuh, termasuk
dalam perspektif agama islam dan pencatatanya di KUA, maka ada beberapa hal
yang dapat disimpulkan diantaranya :
1.
Tradisi
Nikah Boto rubuh adalah sah hukumnya, karena tidak ada dalil yang melarangnya.
Yang terpenting dalam pelaksanaan nikah ini adalah terpenuhinya syarat rukun
pelaksanaan nikah sesuai hukum islam. Adapun kehadiran jenazah dalam pernikahan
tersebut tidak memberi faedah apa-apa, wali atau orang tua yang telah meninggal
tidak bisa menjadi wali atau saksi dalam pernikahan tersebut.
2.
Dalam
pelaksanaan nikah boto rubuh, sisi negatif yang harus diluruskan adalah adanya
pengaruh adat istiadat/budaya/kultur terhadap keyakinan masyarakat yang kurang
benar misalnya: selama kurun satu tahun semenjak meninggalnya anggota keluarga
tidak boleh mengadakan hajatan, orang tua yang meninggal tersebut menyaksikan
pernikahan tersebut dan lain sebagainya.
Sebagai umat muslim yang beriman kita harus percaya bahwa nasib, musibah adalah
sesuai yang telah ditentukan oleh Allah SWT.
3.
Pengurusan
Jenazah menurut Rosulullah adalah sesuatu yang harus disegerakan, dengan adanya
proses nikah Boto Rubuh ini, untuk mengurus persyaratan pernikahan tersebut
tentu memakan proses dan waktu yang berakibat penundaan penguburan.
4.
Proses
pernikahan Boto Rubuh apabila untuk mendapatkan legalitas hukum sangat sulit
prosesnya , kalau pencatatan Kua dilaksanakan hari pelaksanaan perlu waktu yang
berakibat penundaan penguburan jenazah. Namun apabila dilaksanakan ijab dan
qobul untuk kedua kalinya maka status pernikahan itu masih terdapat khilafiyah.
Demikian
tinjauan analisis pelaksanaan Tradisi Nikah Boto Rubuh dalam perspektif Islam
dan pencatatanya di KUA. Tentu tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu masukan dari berbagai pihak kami harapkan untuk kesempurnaanya.
Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, Wallahu a’lam
bisshowab.....terimakasih.
Kandangserang,
19 Maret 2014
Penulis,
H.Moh.Irkham,S.Ag,M.Pd.I
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid Sabiq, “Fiqh
Sunnah “,
terj. Moh. Thalib, Bandung: al-Ma’arif, 1994
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji “Pedoman Pejabat
Urusan Agama Islam” Edisi 2005, Depag, Jakarta 2005
BP4 Depag Prop
Jateng,”Buku Panduan Keluarga Muslim”, Kanwil Depag Jateng 2007
Simuh, Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa,
makalah dalam acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000 (http://google.com/menikahdepanjenazah ,
Senin, 10 Maret 2014, Jam.10.35 WIB).
Sulaiman rasyid,"Fiqih
Islam" Atthahiriyah cetakan ke 17, Jakarta 1975
HR Sunan Tumudzi, juz III, kitab
nikah, bab 6, hal 389. Hadits
ini juga dapat ditemukan dalam redaksi lain,
seperti: Ibn majjah di kitab nikah bab 20, dab Ahmad bin hambal juz 4 dan 5
https://cintakajiansunnah.wordpress.com/tag/kewajiban-menyegerakan-penguburan-jenazah/
Rabu 19 Maret 2014, jam 10.15 WIB.
http;//google.com/hukum nikah depan jenazah, Rabu, 12 Maret 2014,
jam 11.00 WIB.
http://www.ahlussunnah.web.id/ramalan-bintang,
Senin 17 Maret 2014, Jam 13.30 WIB.
http://NU Online, Sabtu 15 Maret 201, jam 11.30
Kamal Muchtar,
et.al, “Ushul Fiqh”, Jilid I, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995
Hasyiyah al jamal ala al manhaj Juz IV
http://kuatuntang.blog.spot, Senin 17 Maret 2014, jam 14.30 WIB.
[2]Dirjen Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji “Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam”
Edisi 2005, Depag, Jakarta 2005, hal.43
[4] Simuh, Keunikan
Interaksi Islam dan Budaya Jawa, makalah dalam acara Seminar Pengaruh
Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000 (http://google.com/menikahdepanjenazah ,
Senin, 10 Maret 2014, Jam.10.35 WIB).
[5]
Wawancara Bp.Faozan ( Lebe Trajumas ), Kamis, 6 Maret 2014, jam.09.30 WIB.
[6]
Wawancara Bp.Denin (Garungwiyoro) , Senin 10 Maret 2014, Jam 14.30 WIB.
[7]
Wawancara Bp.H.Danu (Lambur) , Selasa 11 Maret 2014, jam 09.30 WIB.
[8]
Wawancara Bp.Fauzi (Bubak), Rabu tanggal 12 Maret 2014, Jam 10.10 WIB.
[11] HR Sunan Tumudzi, juz III, kitab
nikah, bab 6, hal 389. Hadits
ini juga dapat ditemukan dalam redaksi lain,
seperti: Ibn majjah di kitab nikah bab 20, dab Ahmad bin hambal juz 4 dan 5
[12]https://cintakajiansunnah.wordpress.com/tag/kewajiban-menyegerakan-penguburan-jenazah/
Rabu 19 Maret 2014, jam 10.15 WIB.
[13] http;//google.com/hukum
nikah depan jenazah, Rabu, 12 Maret 2014, jam 11.00 WIB.
[17] Kamal Muchtar, et.al, “Ushul Fiqh”, Jilid I,
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 147-149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar